12 Mei 2016

Bekal Yang Dibutuhkan

Dalam tulisan sahabat Ahmadz Fadzlurrahman (http://pmii-hasyimasyari.blogspot.co.id/2016/03/ilmu-agama-dan-ilmu-umum.html). Dia ingin menghapus dikotomi Ilmu Agama dan Umum lantas mengandaikan kerjasama semua ilmu yang dileburnya menjadi satu tanpa ada pemisahan. Menarik. Gamblangnya memang semua ilmu bersumber dari Yang Maha Esa.

Bukan berati saya sepakat pada sahabat Ahmad sepenuhnya, tidak. Realitanya, sedikit kemungkinan bagi kita mempelajari akidah Hindu, Budha, Kristen atau lainnya. Atau sebaliknya, ilmu fiqh, ushul fiqh, tauhid, tajwid, tafsir dan yang dinisbatkan pada agama Islam kita paksakan pada lembaga pendidikan non-muslim dengan dalih semua ilmu itu satu. Tidak mungkin. Pasti mereka akan menyebutnya, itu kajian ilmu agama Islam, dan sebaliknya kita akan mengucapkan,“Itu ilmu agama Hindu, Budha dan Kristen.

Penisbatan ilmu pada agama dan ilmu non-agama tidak bisa dipisah dari terminologinya. Itulah mengapa Hujjatul Islam Imam al-Ghazali membaginya menjadi Ilmu Agama dan ukhro (non agama).

Tentang kerjasama antara Ilmu Agama dan Non Agama, saya sepakat dengan sahabat Ahmad. Simpel, karena Imam al-Ghazali juga menganjurkan itu. Alih-alih kurang etis jika saya harus menisbatkannya langsung pada Kanjeng Rasul seperti yang dikutip sahabat Ahmad, “Man aroda dunya Ila akhirihi”. Khawatir salah tangkap karena keterbatasan ilmu dalam bidang Hadits.

***
Dalam magnum opus Ihya’ Ulumiddin,Hujjatul Islam memang merinci detil tentang dikotomi keilmuan menjadi fardlu ain dan kifayah, muqoddimat dan lainnya. Untuk mendapatkan gambaran umumnya, saya lebih tertarik pada karyanya Ayyuhal Walad yang ditulis setelah Ihya’.

Paskah pengembaraan keilmuan, sang Imam menyimpulkan bahwa dia telah menyia-nyiakan banyak umurnya. Ia mengutip pendapat Imam as-Syibli, “Kerjakan untuk duniamu secukupnya, untuk kekekalan akhirat semampumu, pada Tuhan sekuat kemampuanmu, dan untuk neraka sekuat sabarmu menempatinya.

Bahwa kehidupan realistis adalah mengerahkan segenap tenaga untuk mencari bekal kehidupan setelah mati. Itu poinnya.

Oleh karenanya, dalam Ayyuhal Walad, Imam al-Ghazali menekankan “Amal Sholeh”, aktivitas yang didasari ilmu. Tentunya, ilmu agama yang ditekankan seiring dengan persiapan bekal kehidupan abadi. Maka dari itu, Hujjatul Islam agak memandang sinis keilmuan non-agama dan meratapi umurnya mendalami berbagai keilmuan seperti politik, filsafat, nahwu, dan lainnya.

Sekali lagi, bukan berati keilmuan umum tidak penting. Bahkan seorang Salik(pengembara ketuhanan) wajib mempunyai empat pilar. Pertama,akidah yang kokoh tanpa adanya modifikasi. Kedua, taubat dari dosa dan tidak mengulangi lagi. Ketiga, rekonsiliasi dengan musuh atau lawan sehingga tidak ada lagi makhluk Tuhan yang memusuhinya. Keempat, mempelajari ilmu agama seperlunya untuk melaksanakan perintah Allah, dan ilmu lainnya untuk menyelamatkannya.

Poin ketiga dan empat digambarkan bahwa seorang yang mendekatkan diri pada Allah (salik) tidak diperkenankan menyusahkan orang lain. Tidak hanya melulu mendalami agama lantas mengharapkan penghidupan dari orang lain. Ilmu ukhro maa takuunu bihi an-najatmengandaikan kehidupan bermartabat. Itupun, harus menyertakan aktivitas keagamaan (baca: niat) untuk menggapai ridlo Ilahi. Karena jika tidak, fahuwa roddun, tertolak untuk menjadi bekal kehidupan abadi.

***
Dari sini, bisa disimpulkan seperti yang diutarakan Dr. KH. Musta'in Syafi'i dalam khotbah Jumat, yang sudah dibukakan dalam kumpulan Khotbah Tebuireng. Bahwa Ilmu yang bermanfaat adalah yang bisa menghidupi pemiliknya, al-ilmu ya’isyu bihi. Kedua adalah ilmu yang bisa menyelamatkan dirinya di Hari Pembalasan.

Menjadi jelas sudah, bahwa ilmu minimal yang perlu kita gapai adalah ilmu agama yang akan menyelamatkan diri kita dan bekal kehidupan setelah mati. Kedua adalah ilmu yang dibutuhkan untuk mencukupi kehidupan di dunia seperti yang dikutip dari Imam as-Syibli. Apapun itu.

Terakhir yang paling pokok adalah seperti yang diungkapkan sahabat Ahmad, bahwa keilmuan harus diamalkan bukan hanya digaungkan. Al-Ghazali mengilustrasikan dengan seorang yang mempunyai aneka ragam pedang. Kemudian dihadapkan dengan singa besar di sebuah gurun sahara. Maka orang itu akan terlihat tololnya jika menyia-nyiakan pedangnya. Atau seorang yang sakit parah dengan obat-obat manjur dari dokter yang sudah dipegangnya, maka ia terlihat dungu jika tidak meminumnya.

**
Yayan Mustofa (Alumnus 2011-2012)

Related Posts

0 komentar: