Dalam tulisan sahabat
Ahmadz Fadzlurrahman (http://pmii-hasyimasyari.blogspot.co.id/2016/03/ilmu-agama-dan-ilmu-umum.html). Dia ingin menghapus dikotomi Ilmu Agama dan Umum lantas
mengandaikan kerjasama semua ilmu yang dileburnya menjadi satu tanpa ada
pemisahan. Menarik. Gamblangnya memang semua ilmu bersumber dari Yang Maha Esa.
Bukan berati saya
sepakat pada sahabat Ahmad sepenuhnya, tidak. Realitanya, sedikit kemungkinan
bagi kita mempelajari akidah Hindu, Budha, Kristen atau lainnya. Atau
sebaliknya, ilmu fiqh, ushul fiqh, tauhid, tajwid, tafsir dan yang dinisbatkan
pada agama Islam kita paksakan pada lembaga pendidikan non-muslim dengan dalih
semua ilmu itu satu. Tidak mungkin. Pasti mereka akan menyebutnya, itu kajian ilmu
agama Islam, dan sebaliknya kita akan mengucapkan,“Itu ilmu agama Hindu, Budha
dan Kristen.
Penisbatan ilmu
pada agama dan ilmu non-agama tidak bisa dipisah dari terminologinya. Itulah
mengapa Hujjatul Islam Imam al-Ghazali membaginya menjadi Ilmu Agama dan ukhro
(non agama).
Tentang kerjasama
antara Ilmu Agama dan Non Agama, saya sepakat dengan sahabat Ahmad. Simpel,
karena Imam al-Ghazali juga menganjurkan itu. Alih-alih kurang etis jika saya
harus menisbatkannya langsung pada Kanjeng Rasul seperti yang dikutip sahabat
Ahmad, “Man aroda dunya Ila akhirihi”. Khawatir salah tangkap karena
keterbatasan ilmu dalam bidang Hadits.
***
Dalam magnum opus
Ihya’ Ulumiddin,Hujjatul Islam memang merinci detil tentang dikotomi
keilmuan menjadi fardlu ain dan kifayah, muqoddimat dan lainnya. Untuk
mendapatkan gambaran umumnya, saya lebih tertarik pada karyanya Ayyuhal
Walad yang ditulis setelah Ihya’.
Paskah
pengembaraan keilmuan, sang Imam menyimpulkan bahwa dia telah menyia-nyiakan
banyak umurnya. Ia mengutip pendapat Imam as-Syibli, “Kerjakan untuk duniamu
secukupnya, untuk kekekalan akhirat semampumu, pada Tuhan sekuat kemampuanmu,
dan untuk neraka sekuat sabarmu menempatinya.”
Bahwa kehidupan
realistis adalah mengerahkan segenap tenaga untuk mencari bekal kehidupan
setelah mati. Itu poinnya.
Oleh karenanya,
dalam Ayyuhal Walad, Imam al-Ghazali menekankan “Amal Sholeh”, aktivitas
yang didasari ilmu. Tentunya, ilmu agama yang ditekankan seiring dengan
persiapan bekal kehidupan abadi. Maka dari itu, Hujjatul Islam agak memandang
sinis keilmuan non-agama dan meratapi umurnya mendalami berbagai keilmuan
seperti politik, filsafat, nahwu, dan lainnya.
Sekali lagi,
bukan berati keilmuan umum tidak penting. Bahkan seorang Salik(pengembara ketuhanan)
wajib mempunyai empat pilar. Pertama,akidah yang kokoh tanpa adanya modifikasi.
Kedua, taubat dari dosa dan tidak mengulangi lagi. Ketiga, rekonsiliasi dengan
musuh atau lawan sehingga tidak ada lagi makhluk Tuhan yang
memusuhinya. Keempat, mempelajari ilmu agama seperlunya untuk melaksanakan
perintah Allah, dan ilmu lainnya untuk menyelamatkannya.
Poin ketiga dan
empat digambarkan bahwa seorang yang mendekatkan diri pada Allah (salik) tidak
diperkenankan menyusahkan orang lain. Tidak hanya melulu mendalami agama lantas
mengharapkan penghidupan dari orang lain. Ilmu ukhro maa takuunu bihi
an-najatmengandaikan kehidupan bermartabat. Itupun, harus menyertakan
aktivitas keagamaan (baca: niat) untuk menggapai ridlo Ilahi. Karena jika
tidak, fahuwa roddun, tertolak untuk menjadi bekal kehidupan abadi.
***
Dari sini, bisa
disimpulkan seperti yang diutarakan Dr. KH. Musta'in Syafi'i dalam khotbah
Jumat, yang sudah dibukakan dalam kumpulan Khotbah Tebuireng. Bahwa Ilmu yang
bermanfaat adalah yang bisa menghidupi pemiliknya, al-ilmu ya’isyu bihi.
Kedua adalah ilmu yang bisa menyelamatkan dirinya di Hari Pembalasan.
Menjadi jelas
sudah, bahwa ilmu minimal yang perlu kita gapai adalah ilmu agama yang akan
menyelamatkan diri kita dan bekal kehidupan setelah mati. Kedua adalah ilmu
yang dibutuhkan untuk mencukupi kehidupan di dunia seperti yang dikutip dari Imam
as-Syibli. Apapun itu.
Terakhir yang
paling pokok adalah seperti yang diungkapkan sahabat Ahmad, bahwa keilmuan harus
diamalkan bukan hanya digaungkan. Al-Ghazali
mengilustrasikan dengan seorang yang mempunyai aneka ragam pedang. Kemudian
dihadapkan dengan singa besar di sebuah gurun sahara. Maka orang itu akan
terlihat tololnya jika menyia-nyiakan pedangnya. Atau seorang yang sakit parah
dengan obat-obat manjur dari dokter yang sudah dipegangnya, maka ia terlihat
dungu jika tidak meminumnya.
**
Yayan
Mustofa (Alumnus
2011-2012)
0 komentar: