Membaca motto Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), “Dzikir, Fikir, Amal Saleh”, ternyata lebih
mengagumkan dengan kaca mata Hujjatul Islam Imam al-Ghazali. Sang pencetus,
sahabat Ali Maskur Musa pasti sudah jungkir balik munajat dan berpikir keras
untuk melahirkannya.
Mengawali dengan dzikir dalam pribadi
kita adalah tindakan yang paling tepat. “Fas’alu ahladzkri inkuntum laa
ta’lamun”, tanyalah ahli dzikir jika kalian tidak memahami sesuatu.
Perintahnya sangat jelas, terang Imam al-Ghazali. Bukan pakar keilmuan,
melainkan ahli dzikir.
Pasalnya, seorang yang mengandalkan
rasionalitas belaka, kerap terjerembab dengan halusinasi akal, tandasnya dalam
kitab Jawahirul Qur'an karyanya.
Kita ambil contoh misalnya ketika orang itu
tidur, ia bermimpi akan sesuatu. Dalam mimpinya, ia menganggap bahwa apa yang
dialami dalam tidur adalah suatu kepastian. Akan tetapi ketika bangun, ia
mengakui bahwa kejadian dalam mimpi adalah hal semu, hanya mimpi belaka.
Jika rasionalitas itu dibalik, bagaimana jika
mimpi itu adalah sebuah kepastian hidup, dan perilaku keseharian kita adalah
semu belaka? Bukan sebuah kenyataan pasti. Akal tidak bisa membuktikan
keniscayaan logika tersebut. Oleh karenanya dalam al-Munqidh Minadholal, Hujjatul
Islam kemudian beralih dari rasionalitas menuju pada Kasyaf, hati.
Kelemahan akal tersebut juga dibahas oleh Ibn
Athoillah as-Sakandari dalam Hikamnya dengan redaksi lain. Bahwa akal hanyalah
alat belaka, sedangkan sopirnya ialah hati atau nafsu. Jika dikendalikan hati,
maka akal akan jernih dalam berpikir dan sebaliknya, jika disopir oleh nafsu,
maka ia akan bergerak merusak.
Memang ada kelemahan tersendiri jika landasan
dasarnya adalah hati. Setiap orang bisa mengaku-ngaku akan kejernihan hatinya, lantas
diagungkan oleh yang lain, maka juga akan berpangruh distortif massal. Banyak
menyesatkan kalangan banyak. Oleh karenanya, hati masih harus didampingi oleh
garis-garis syariah. Jika ada orang yang mengaku-ngaku hatinya jernih, lantas
menyeleweng dari garis syariah, maka tertolaklah argumentasinya.
Metode Kasyaf
Mengutip pengantar Lukmanul Hakiem dalam
Permata Ayat-Ayat Suci dari pernyataan Imam al-Ghazali bahwa, “Bersinarnya
kalbu dan jiwa hanyalah muncul dari dzikir. Dzikir kepada Allah itu
sendiri tidak akan didapatkan melainkan dari orang-orang takwa. Takwa adalah
pintu dzikir, dan dzikir adalah pintu kasyaf. Sedang kasyaf itu sendiri
merupakan pintu bagi kebahagiaan yang besar.” Maka bisa disimpulkan, titik
tolak untuk menjalankan dzikir adalah takwa sebagai pintu utama menggapai
kasyaf.
Sudah tidak asing bagi kita bahwa takwa adalah
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Pintu menjalankan dzikir
pertama ini sudah sangat berat untuk dilalui. Oleh karenanya menuju kepada Amal
Saleh hanyaakan dilalui orang-orang (baca: kader PMII) yang sudah teruji dari
hati, pemikiran dan tindakan pribadinya.
Ketika kerangka kasyaf sudah dimiliki dengan susah
payah, maka kerangka berpikir seseorang menjadi lurus secara logika. Ibarat
sinar matahari yang dipantulkan ke bulan, dari bulan dipantulkan ke cermin,
dari cermin menerangi ruangan kamar. Dari Tuhan menuju piranti nabi-nabi dan
ayat-ayat-Nya, dipantulkan pada hati kita, dan menerangi pemikiran kita.
Tentunya, untuk mendapatkan keputusan tindakan
yang lebih matang, kasyaf bukanlah satu-satunya piranti. Saiful Anwar memetakan
karya Imam al-Ghazali dan menuangkan dalam karyanya, Filsafat Ilmu al-Ghazali.
Ada piranti lain yang tidak bisa ditinggalkan untuk menggapai kebenaran; Indra,
akal dan dzauq (kasyaf).
Ketiganya masih dibutuhkan antara satu dengan
lainnya. Hanya saja, dari ketiga piranti-piranti yang ada, PMII memulai dari
dzikir, selaras dengan al-Ghazali. Karena dari permulaan itu, pasti akan
melahirkan kejernihan pemikiran tanpa ditumpangi ego nafsu yang serakah.
Amal saleh
Amal saleh adalah produk. Ia dilahirkan atau
tidak, membutuhkan keberanian tersendiri. Tidak sedikit orang yang sudah lurus
secara pemikiran, tapi tidak bisa mengeksekusinya menjadi nyata.
Salah satu sifat mendasar yang dianjurkan
Sayyidina Ali untuk dimiliki para lelaki. Dermawan dan Jantan (berani). Untuk
melahirkan janin pemikiran dari kejernihan hati yang sudah dipermatang akal,
membutuhkan keberanian khusus. Berani mempertanggungjawabkan tindakan walaupun
harus berbeda pendapat. Berani melahirkan (mengeksekusi) menjadi nyata dengan
strategi-strategi jitu, metode jitu sehingga hasil produk kejernihan hati
diteruskan ke Fikr, dan didongkrak keberanian melahirkan kualitas
handal.
Semoga, produk-produk PMII dari kejernihan
hati mereka, bisa terwujudkan menjadi peninggalan yang bisa dimanfaatkan orang
banyak (kualitas handal). Selamat ber-RTAR dan RTK !
**
Yayan Mustofa (Bidang Pengkaderan, Masa
Khidmat 2011-2012)
0 komentar: