Agak sedikit tersenyum geli mendengarkan kisah kelas seorang teman
di warung. Ia bercerita “kegelisahan” seorang kawannya tentang pendidikan
Indonesia. Teman saya langsung berkomentar pedas tanpa tedeng aling-aling,
“nggak usah jauh-jauh pada pendidikan Indonesia, kita sendiri ketika ujian
nggak pernah jujur.”
Komentar itu ditujukan untuk menyindir kawannya tadi. Pasalnya,
sang kawan membawa kerpekan yang ditulis kecil guna menjawab soal ujian.
Itu berlangsung tiap kali ujian. “Harusnya kita malu menyuruh jujur pada siswa
didik kita, sedangkan kita sendiri melakukan. Malu mengkritisi kebobrokan
pendidikan Indonesia karena pelakunya adalah kita sendiri. Kecuali jika memang
kita tidak punya malu,” tambahnya. Kelas kuliah program guru teman saya ini
ternyata mempunyai dialektikanya tersendiri.
Lebih mudah mengkritisi orang lain ketimbang diri sendiri memang.
Makanya dalam kajian tasawuf Islam yang ditekankan adalah Muhasabah,
introspeksi diri. Karena mengkritisi dengan jujur progress diri sendiri itu
jauh lebih susah. Ada ego (al fakhr/al kibr) yang menghijab keberanian
akal untuk mengkritisi diri sendiri.
Sebenarnya, jika setiap individu dari kita memulai untuk selalu
memperbaiki diri sendiri. Selalu melakukan Muhasabah, maka mengkritisi
perubahan sosial di sekeliling kita akan susut dengan sendirinya. Tapi itu
tidak mungkin. Kalaupun iya, pasti susah dan sedikit persen. Kalaupun iya,
pasti akan segera kiamat.
Keberimbangan baik dan buruk akan selalu beriringan sampai jangka
waktu yang tidak ditentukan. Kalau semua sudah baik, maka sinetron akan
berakhir. Pun juga sebaliknya, jika semua sudah buruk, maka akan berakhir. Potongan
pemahaman yang saya tangkap dari kumpulan tulisan KH. A. Wahid Hasyim dalam
karangan tersiar.
Bukan berarti kemudian cuek bebek terhadap kebobrokan lingkungan
sekitar dengan alasan sudah menjadi sunnatullah, tidak. Ada peran aktor yang
perlu kita bintangi, menjadi pahlawan super hero untuk berusaha menjadi yang
lebih baik dan membaikkan sekitarnya.
Kuncinya, berawal dari diri kita sendiri. “Muhasabah dan continous
improvement,” mengutip istilah KH. Abdul Hakim Mahfudz sebagai wakil
Pengasuh Pesantren Tebuireng. Kajian tasawuf Islam pun selalu begitu,
mengoreksi habis untuk perubahan diri sendiri, bukan yang di luar diri kita.
Oleh karenanya kemudian menjadi lucu jika kita terus mengoreksi
sesuatu yang di luar diri kita, sedangkan pribadi sendiri belum dikatakan layak
seperti kasus teman saya di atas.
Demi kebaikan bersama, mari kita mencari-cari apologi, kita
sepakati saja sekarang. Kalau tidak ada kritik yang kita lontarkan pada orang
lain, maka kita tidak akan dianggap ada. Perubahan sosial secara massal akan
semakin lambat, jika harus menunggu diri kita menjadi baik terlebih dulu. Ayat
Al Quran, “kaburo maqtan ‘indallah ma taquulu ma laa taf’alun” harus
kita tafsir ulang. Sepakat?
**
Yayan Musthofa (Alumnus 2011-2012)
0 komentar: