17 Mei 2016

“Mereka” Yang Salah

Agak sedikit tersenyum geli mendengarkan kisah kelas seorang teman di warung. Ia bercerita “kegelisahan” seorang kawannya tentang pendidikan Indonesia. Teman saya langsung berkomentar pedas tanpa tedeng aling-aling, “nggak usah jauh-jauh pada pendidikan Indonesia, kita sendiri ketika ujian nggak pernah jujur.”

Komentar itu ditujukan untuk menyindir kawannya tadi. Pasalnya, sang kawan membawa kerpekan yang ditulis kecil guna menjawab soal ujian. Itu berlangsung tiap kali ujian. “Harusnya kita malu menyuruh jujur pada siswa didik kita, sedangkan kita sendiri melakukan. Malu mengkritisi kebobrokan pendidikan Indonesia karena pelakunya adalah kita sendiri. Kecuali jika memang kita tidak punya malu,” tambahnya. Kelas kuliah program guru teman saya ini ternyata mempunyai dialektikanya tersendiri.

Lebih mudah mengkritisi orang lain ketimbang diri sendiri memang. Makanya dalam kajian tasawuf Islam yang ditekankan adalah Muhasabah, introspeksi diri. Karena mengkritisi dengan jujur progress diri sendiri itu jauh lebih susah. Ada ego (al fakhr/al kibr) yang menghijab keberanian akal untuk mengkritisi diri sendiri.

Sebenarnya, jika setiap individu dari kita memulai untuk selalu memperbaiki diri sendiri. Selalu melakukan Muhasabah, maka mengkritisi perubahan sosial di sekeliling kita akan susut dengan sendirinya. Tapi itu tidak mungkin. Kalaupun iya, pasti susah dan sedikit persen. Kalaupun iya, pasti akan segera kiamat.

Keberimbangan baik dan buruk akan selalu beriringan sampai jangka waktu yang tidak ditentukan. Kalau semua sudah baik, maka sinetron akan berakhir. Pun juga sebaliknya, jika semua sudah buruk, maka akan berakhir. Potongan pemahaman yang saya tangkap dari kumpulan tulisan KH. A. Wahid Hasyim dalam karangan tersiar.

Bukan berarti kemudian cuek bebek terhadap kebobrokan lingkungan sekitar dengan alasan sudah menjadi sunnatullah, tidak. Ada peran aktor yang perlu kita bintangi, menjadi pahlawan super hero untuk berusaha menjadi yang lebih baik dan membaikkan sekitarnya.
Kuncinya, berawal dari diri kita sendiri. “Muhasabah dan continous improvement,” mengutip istilah KH. Abdul Hakim Mahfudz sebagai wakil Pengasuh Pesantren Tebuireng. Kajian tasawuf Islam pun selalu begitu, mengoreksi habis untuk perubahan diri sendiri, bukan yang di luar diri kita.

Oleh karenanya kemudian menjadi lucu jika kita terus mengoreksi sesuatu yang di luar diri kita, sedangkan pribadi sendiri belum dikatakan layak seperti kasus teman saya di atas.
Demi kebaikan bersama, mari kita mencari-cari apologi, kita sepakati saja sekarang. Kalau tidak ada kritik yang kita lontarkan pada orang lain, maka kita tidak akan dianggap ada. Perubahan sosial secara massal akan semakin lambat, jika harus menunggu diri kita menjadi baik terlebih dulu. Ayat Al Quran, “kaburo maqtan ‘indallah ma taquulu ma laa taf’alun” harus kita tafsir ulang. Sepakat?

**
Yayan Musthofa (Alumnus 2011-2012)

Related Posts

0 komentar: