Sebentar, jangan berpikir buruk dulu. Tidak
bermaksud mengatakan bahwa takmir masjid itu harusnya cewek atau semisalnya. Takmir
sebagai profesi lah yang dimaksud, tidak lagi prestisius, maka tidak
menggairahkan bagi kebanyakan generasi muda sekarang. Atau mungkin karena sudah
tidak ada lagi yang mendalami hal-hal kemasjidan, itupun berawal dari karena
kurang menggairahkan.
Pos-pos ketakmiran pada akhirnya ditangani
orang yang bukan ahlinya. Imbasnya, kontrol syariah Islam pada ranah kemasjidan
akan berjalan apa adanya, seiring dengan kapasitas takmir untuk mengorganisir.
Ada contoh kasus pertanyaan teman tentang
shalat Tarawih di Malang. Bahwa jamaah lelaki berdiri di belakang perempuan,
bagaimana hukumnya? Konsep pengaturan jamaah shalat adalah para lelaki di depan
sampai space laki-laki habis, kemudian jamaah perempuan di belakangnya
menghabiskan space masjid (musalla). Bagus memang. Masalahnya, para mahasiswa
dan musafir hadir terlambat, sehingga selalu shalat di belakang jamaah perempuan.
Di salah satu masjid Kwaron Jombang juga
demikian. Shalat Jumat para lelaki di belakang jamaah perempuan. Bangunan
masjid sudah bagus, ada ruang ruangan yang dinisbatkan masjid dan selebihnya
pelataran luas kanan, kiri dan belakang. Dalam sidang jumat, ruangan masjid
penuh lelaki, kanan dan sebagian belakang. Sedangkan kiri untuk jamaah
perempuan. Akan tetapi jamaah yang telat, akan menutup semua ruang belakang.
Maka, jamaah lelaki di belakang jamaah perempuan, karena ruang kiri tidak
menggunakan satir penutup, loss.
Memang Sunan Abu Dawud pernah menukilkan
kebolehan seorang perempuan menjadi Imam Shalat, tapi saya lebih tertarik
dengan Imam al Ghazali yang tidak memperbolehkan inovasi dalam masalah pokok
syariah. Ini bukan masalah gender, tapi tentang risalah ketuhanan yang
memposisikan sesuai proporsi masing-masing. Menempatkan pada tempatnya.
Mungkin banyak lagi kasus masjid lainnya, dan
dianggap wajar. Karena sudah turun temurun. Ini belum berbicara pengembangan
masjid dengan pendirian perpustakaan atau lainnya.
***
Pernah suatu ketika teman saya bercerita
tentang gerakan Mahasiswa di Uinsa Surabaya. Sebagian mahasiswa ingin mengambil
peran pengurus masjid yang dipegang oleh organisasi lain. Tapi, ketika dilontarkan
kepada seniornya, dijawab simpel olehnya, “Ngapain rebutan kepengurusan masjid?
Memang setelah kalian ambil alih, kalian mau mengurus masjidnya? Biarkan saja.”
Mendengar respon senior, mereka bukan merasa
tertantang menjawab gegap gempita, tapi mengamini kebodohan mereka dalam dunia kemasjidan.
Menyerah sudah.
Sambil tertawa terpingkal, saya merasa sedih.
Lebih sedih lagi, ternyata saya juga bagian dari mereka, selalu lari ketika
diminta membantu menghidupkan urusan masjid. Dosa besar akan tertanggung untuk
saya khususnya, dan generasi Islam pada umumnya jika pondasi-pondasi keislaman
akan meluntur. Tidak ada lagi yang mengkhususkan diri menerjuni bidang itu.
**
Yayan Musthofa (Alumnus 2011-2012)
0 komentar: