17 Mei 2016

Takmir Tidak Menggairahkan

Sebentar, jangan berpikir buruk dulu. Tidak bermaksud mengatakan bahwa takmir masjid itu harusnya cewek atau semisalnya. Takmir sebagai profesi lah yang dimaksud, tidak lagi prestisius, maka tidak menggairahkan bagi kebanyakan generasi muda sekarang. Atau mungkin karena sudah tidak ada lagi yang mendalami hal-hal kemasjidan, itupun berawal dari karena kurang menggairahkan.

Pos-pos ketakmiran pada akhirnya ditangani orang yang bukan ahlinya. Imbasnya, kontrol syariah Islam pada ranah kemasjidan akan berjalan apa adanya, seiring dengan kapasitas takmir untuk mengorganisir.

Ada contoh kasus pertanyaan teman tentang shalat Tarawih di Malang. Bahwa jamaah lelaki berdiri di belakang perempuan, bagaimana hukumnya? Konsep pengaturan jamaah shalat adalah para lelaki di depan sampai space laki-laki habis, kemudian jamaah perempuan di belakangnya menghabiskan space masjid (musalla). Bagus memang. Masalahnya, para mahasiswa dan musafir hadir terlambat, sehingga selalu shalat di belakang jamaah perempuan.

Di salah satu masjid Kwaron Jombang juga demikian. Shalat Jumat para lelaki di belakang jamaah perempuan. Bangunan masjid sudah bagus, ada ruang ruangan yang dinisbatkan masjid dan selebihnya pelataran luas kanan, kiri dan belakang. Dalam sidang jumat, ruangan masjid penuh lelaki, kanan dan sebagian belakang. Sedangkan kiri untuk jamaah perempuan. Akan tetapi jamaah yang telat, akan menutup semua ruang belakang. Maka, jamaah lelaki di belakang jamaah perempuan, karena ruang kiri tidak menggunakan satir penutup, loss.

Memang Sunan Abu Dawud pernah menukilkan kebolehan seorang perempuan menjadi Imam Shalat, tapi saya lebih tertarik dengan Imam al Ghazali yang tidak memperbolehkan inovasi dalam masalah pokok syariah. Ini bukan masalah gender, tapi tentang risalah ketuhanan yang memposisikan sesuai proporsi masing-masing. Menempatkan pada tempatnya.

Mungkin banyak lagi kasus masjid lainnya, dan dianggap wajar. Karena sudah turun temurun. Ini belum berbicara pengembangan masjid dengan pendirian perpustakaan atau lainnya.

***
Pernah suatu ketika teman saya bercerita tentang gerakan Mahasiswa di Uinsa Surabaya. Sebagian mahasiswa ingin mengambil peran pengurus masjid yang dipegang oleh organisasi lain. Tapi, ketika dilontarkan kepada seniornya, dijawab simpel olehnya, “Ngapain rebutan kepengurusan masjid? Memang setelah kalian ambil alih, kalian mau mengurus masjidnya? Biarkan saja.”

Mendengar respon senior, mereka bukan merasa tertantang menjawab gegap gempita, tapi mengamini kebodohan mereka dalam dunia kemasjidan. Menyerah sudah.

Sambil tertawa terpingkal, saya merasa sedih. Lebih sedih lagi, ternyata saya juga bagian dari mereka, selalu lari ketika diminta membantu menghidupkan urusan masjid. Dosa besar akan tertanggung untuk saya khususnya, dan generasi Islam pada umumnya jika pondasi-pondasi keislaman akan meluntur. Tidak ada lagi yang mengkhususkan diri menerjuni bidang itu.

**
Yayan Musthofa (Alumnus 2011-2012)
Previous Post RUWET

Related Posts

0 komentar: