28 Oktober 2016

Menyikapi Teks Sumpah Pemuda

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satu, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
-Djakarta, 28 Oktober 1928-
Katakanlah teks sumpah pemuda ini adalah nash qath’iy bagi para pemuda yang bersifat sakral, bukan profan, seperti halnya teks pancasila bagi bangsa Indonesia, maka ada dua tawaran untuk mengkajinya. Pertama dengan maqāshid al-syarī’ah, dan kedua dengan ḥikmah al-tasyrī’.
Kacamata pertama (maqāshid al-syarī’ah) mengharuskan adanya tela’ah kritis seperti kenapa harus ada sumpah pemuda, bagiamana konteks sosial-politik yang melingkupi, kondisi masyarakat, apakah yang dilakukan oleh sebagian kelompok (thāifah) yang bersifat juz’iy (parsial) berlaku untuk semua (jamī’), dan seterusnya. Ini memungkinkan adanya konsekuensi logis bahwa teks yang ada, bisa terhapus dengan kondisi yang berbeda saat ini, karena al-ḥukmu yadūru ma’a ‘illatihi wujūdan wa ‘adaman. Teks tidak berlaku dan harus diubah, sehingga bentuknya tidak lagi sakral, melainkan profan.
Oleh karenanya, saya lebih memilih kacamata yang kedua, yakni ḥikmah al-tasyrī'. Kita hanya mengambil hikmah dari adanya teks, diambil nilainya, dan diterapkan untuk menyikapi kondisi hari ini yang sedang kita hadapi. Sehingga kesakralan teks tetap terjaga. Adapun penafsiran akan teks, bisa berbeda-beda antara satu dengan lainnya, itu sudah menjadi niscaya.
Sedikit ceroboh memang untuk mensakralkan buatan manusia menjadi sebanding dengan teks yang bersifat suci, akan tetapi akan timbul mafsadah yang lebih besar jika misalkan teks pancasila atau sumpah pemuda ini digubah. Mashlaḥah persatuan bangsa akan tergusur.
Tiga Konsekuensi Logis
Saya berharap semua mengamini teks sumpah pemuda, jika memang berlandaskan ḥikmah al-tasyrī’. Semoga tidak ada di antara pemuda kita yang acuh, cuek, dan tidak mau tau akan teks sumpah pemuda, pura-pura lupa dan tidak pernah mendengar. Walaupun memang tidak salah dari segi hukum jika berpijak pada maqāshid syarī’ah, karena sumpah itu hanya dilakukan segelintir orang (thāifah) yang tidak mengharuskan belaku untuk jamī’, keseluruhan. Apakah si A yang bersumpah lantas kemudian si B, C, dan D juga ikut menanggung sumpahnya? Bisa jadi iya, tapi secara teoritis rigid tidak bisa.
Sebagai warga Indonesia yang baik, khususnya pemuda-pemudi yang “taat,” maka berpijak pada ḥikmah al-tasyrī’ dalam memandang teks sumpah pemuda adalah pilihan yang tepat. Sakral, ambil nilainya, dan menerapkannya hari ini dalam menghadapi relita.
Kita ambil satu ayat dari teks di atas, yang pertama. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia. “Bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.” Teks ini memiliki konsekuensi logis untuk menjaga dan memajukan tanah air yang mempunyai anak turun –setidaknya- tiga point. Tiga point ini adalah standar minimal dari sebuah kelompok, golongan, negara, dan bangsa untuk dikatakan maju “Madani.”
Pertama adalah kesehatan politik. Bagus dan buruknya kondisi politik negara mempengaruhi nilai negara itu sendiri. Secara detil, saya kurang kompeten dalam berbicara hal ini. Tapi jelas, penilaian akan sejarah yang dianggap maju salah satunya adalah kesehatan politik dalam menentukan kebijakan bagi negaranya.
Kedua adalah kesejahteraan untuk masyarakat atau rakyat yang dinaungi. Ini akan berbaris lurus dengan kesejahteraan ekonomi masyarakat; kelayakan pekerjaan dan pendapatannya sehingga antara satu orang akan merasa aman dengan harta bendanya, tidak merasa diincar oleh orang lainnya sebab “kekurangan” untuk bertahan hidup yang dialami lantas akan membahayakan harta bendanya.
Ketiga adalah keilmuan. Peradaban dari sebuah bangsa akan bisa dipantau dan dibaca generasi mendatang karena peninggalannya hari ini. Kita mengetahui zaman keemasan Islam pada era Rasulullah misalkan, Abbasiyah, Umayyah, peradaban Eropa, dan seterusnya karena ada banyak tokoh genius yang menuliskan keilmuan, kondisi pemerintahan dan kritikannya, dan seterusnya. Sehingga negara dan bangsa membangun kemajuannya dan bisa tereluhkan oleh generasi sekarang.
Dari ketiga poin konsekuensi logis di atas –anak keturunan redaksi “tanah air”- maka sebagai pemuda, kita akan menakar diri kita sendiri. Akan berkontribusi di bidang manakah untuk menyokong kemajuan Tanah Air: Negara dan Bangsa Indonesia? Atau malah sebaliknya kita bersifat oportunis dan acuh tidak mau tahu hal ihwal tanah air, yang penting kita menjalani hidup, bertahan hidup, dan mengantri mati tanpa sebuah perjuangan untuk warisan generasi mendatang?


-----
Yayan Musthofa, Senior Rayon Yusuf Hasyim, sekarang aktif dan menjadi pengurus di Penertiban Tebuireng

Related Posts

0 komentar: