Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah
darah jang satoe, tanah air Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe
berbangsa jang satu, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng
bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
-Djakarta, 28 Oktober 1928-
Katakanlah teks sumpah pemuda
ini adalah nash qath’iy bagi para pemuda yang bersifat sakral, bukan
profan, seperti halnya teks pancasila bagi bangsa Indonesia, maka ada dua
tawaran untuk mengkajinya. Pertama dengan maqāshid al-syarī’ah, dan
kedua dengan ḥikmah al-tasyrī’.
Kacamata pertama (maqāshid
al-syarī’ah) mengharuskan adanya tela’ah kritis seperti kenapa harus ada
sumpah pemuda, bagiamana konteks sosial-politik yang melingkupi, kondisi
masyarakat, apakah yang dilakukan oleh sebagian kelompok (thāifah) yang
bersifat juz’iy (parsial) berlaku untuk semua (jamī’), dan
seterusnya. Ini memungkinkan adanya konsekuensi logis bahwa teks yang ada, bisa
terhapus dengan kondisi yang berbeda saat ini, karena al-ḥukmu yadūru ma’a
‘illatihi wujūdan wa ‘adaman. Teks tidak berlaku dan harus diubah, sehingga
bentuknya tidak lagi sakral, melainkan profan.
Oleh karenanya, saya lebih
memilih kacamata yang kedua, yakni ḥikmah al-tasyrī'. Kita hanya
mengambil hikmah dari adanya teks, diambil nilainya, dan diterapkan untuk
menyikapi kondisi hari ini yang sedang kita hadapi. Sehingga kesakralan teks
tetap terjaga. Adapun penafsiran akan teks, bisa berbeda-beda antara satu
dengan lainnya, itu sudah menjadi niscaya.
Sedikit ceroboh memang untuk
mensakralkan buatan manusia menjadi sebanding dengan teks yang bersifat suci,
akan tetapi akan timbul mafsadah yang lebih besar jika misalkan teks
pancasila atau sumpah pemuda ini digubah. Mashlaḥah persatuan bangsa
akan tergusur.
Tiga Konsekuensi Logis
Saya berharap semua mengamini
teks sumpah pemuda, jika memang berlandaskan ḥikmah al-tasyrī’. Semoga
tidak ada di antara pemuda kita yang acuh, cuek, dan tidak mau tau akan teks
sumpah pemuda, pura-pura lupa dan tidak pernah mendengar. Walaupun memang tidak
salah dari segi hukum jika berpijak pada maqāshid syarī’ah, karena
sumpah itu hanya dilakukan segelintir orang (thāifah) yang tidak
mengharuskan belaku untuk jamī’, keseluruhan. Apakah si A yang bersumpah
lantas kemudian si B, C, dan D juga ikut menanggung sumpahnya? Bisa jadi iya,
tapi secara teoritis rigid tidak bisa.
Sebagai warga Indonesia yang
baik, khususnya pemuda-pemudi yang “taat,” maka berpijak pada ḥikmah
al-tasyrī’ dalam memandang teks sumpah pemuda adalah pilihan yang tepat.
Sakral, ambil nilainya, dan menerapkannya hari ini dalam menghadapi relita.
Kita ambil satu ayat dari teks
di atas, yang pertama. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah
darah jang satoe, tanah air Indonesia. “Bertumpah darah yang satu, tanah
air Indonesia.” Teks ini memiliki konsekuensi logis untuk menjaga dan memajukan
tanah air yang mempunyai anak turun –setidaknya- tiga point. Tiga point ini
adalah standar minimal dari sebuah kelompok, golongan, negara, dan bangsa untuk
dikatakan maju “Madani.”
Pertama adalah kesehatan
politik. Bagus dan buruknya kondisi politik negara mempengaruhi nilai negara
itu sendiri. Secara detil, saya kurang kompeten dalam berbicara hal ini. Tapi
jelas, penilaian akan sejarah yang dianggap maju salah satunya adalah kesehatan
politik dalam menentukan kebijakan bagi negaranya.
Kedua adalah kesejahteraan
untuk masyarakat atau rakyat yang dinaungi. Ini akan berbaris lurus dengan
kesejahteraan ekonomi masyarakat; kelayakan pekerjaan dan pendapatannya
sehingga antara satu orang akan merasa aman dengan harta bendanya, tidak merasa
diincar oleh orang lainnya sebab “kekurangan” untuk bertahan hidup yang dialami
lantas akan membahayakan harta bendanya.
Ketiga adalah keilmuan. Peradaban
dari sebuah bangsa akan bisa dipantau dan dibaca generasi mendatang karena
peninggalannya hari ini. Kita mengetahui zaman keemasan Islam pada era
Rasulullah misalkan, Abbasiyah, Umayyah, peradaban Eropa, dan seterusnya karena
ada banyak tokoh genius yang menuliskan keilmuan, kondisi pemerintahan dan
kritikannya, dan seterusnya. Sehingga negara dan bangsa membangun kemajuannya
dan bisa tereluhkan oleh generasi sekarang.
Dari ketiga poin konsekuensi
logis di atas –anak keturunan redaksi “tanah air”- maka sebagai pemuda, kita
akan menakar diri kita sendiri. Akan berkontribusi di bidang manakah untuk
menyokong kemajuan Tanah Air: Negara dan Bangsa Indonesia? Atau malah
sebaliknya kita bersifat oportunis dan acuh tidak mau tahu hal ihwal tanah air,
yang penting kita menjalani hidup, bertahan hidup, dan mengantri mati tanpa
sebuah perjuangan untuk warisan generasi mendatang?
-----
Yayan Musthofa, Senior Rayon Yusuf Hasyim, sekarang aktif dan menjadi pengurus di Penertiban Tebuireng
0 komentar: