Menjadi Isu Hangat
Hukuman mati sedang hangat-hangatnya
dibicarakan oleh semua elemen masyarakat di negara ini. Eksekusi mati ini mulai
menuai pro dan kontra. Pro-kontra hukuman mati ini tidak hanya sebatas
isu Nasional, melainkan juga telah menjadi isu dunia, setelah pemerintah
Indonesia secara tegas menyatakan dan melaksanakan eksekusi hukuman mati
terhadap beberapa narapidana kasus narkoba jaringan internasional.
Mulai dari pujian, dukungan, hingga cacian dan
hujatan menimpa pemerintah Indonesua. Keramaian ini juga mendapat beberapa
tanggapan serius dari berbagai tokoh. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Provinsi Kalimantan Timur, KH Hamri Haz mengatakan hukuman mati itu
diperbolehkan dalam Islam. Karena itu hukuman mati terhadap pengedar narkoba
itu tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Menurut Hamri, hukuman mati dalam
Syariat Islam telah diterapkan sejak dulu, bahkan sejak zaman Nabi, yakni
qishash. Hukuman qishash diterapkan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh
pelaku, yakni dalam rangka menegakkan keadilan. Narkoba merupakan barang
terlarang, sehingga siapa saja yang mengedarkan harus mendapatkan hukuman
setimpal. Apalagi dampak penyalahgunaan narkoba sangat parah karena bisa
melemahkan syaraf dan mengganggu aktivitas, termasuk mengganggu lingkungan
masyarakat.
Alasan HAM, Terlalu Sepihak
Ada hal lain yang menjadi perdebatan dalam
kasus ini, argumen beberapa tokoh muslim dan tokoh HAM mengenai hukuman mati
berbeda. Para insan HAM tetap mengambil sikap awal dengan menentang keputusan
itu. Sementara Islam seolah mendukung hukuman mati. Dalam HAM, penerapan
hukuman mati digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi.
Selain itu HAM juga menganggap hukuman mati sebagai bentuk pelanggaran Pasal 3
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Pada Pasal 3 Deklarasi Universal: “Setiap orang mempunyai hak
atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang”. Salah satu
tokoh NU, KH Nuril Arifin atau yang akrab disapa Gus Nuril meminta kepada
Presiden Jokowi untuk tidak lagi memberlakukan hukuman mati di Indonesia.
Karena sama saja merampas hak seseorang bertobat. Menurutnya Indonesia telah
terjebak dalam peraturan hukum di Arab Saudi. Tidak benar jika hukuman mati itu
dianjurkan dalam Islam. Islam selalu mengajarkan cinta kasih terhadap umat
manusia. Oleh karena itu dirinya melihat aneh jika Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam malah memberlakukan hukuman mati.
Dalam Islam
Sementara dalam hukum Islam, sanksi pidana
yang dapat menyebabkan pelakunya dihukum mati terjadi pada tiga kasus.
لا يحلّ دم امرئ مسلم إلاّ بإحدى ثلاث : كفر بعد
إيمان ووزن بعد إحصان وقتل نفس بغير نفس
“Tidak halal darah seseorang muslim kecuali sebab salah satu dari
tiga hal: orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan diri dari jamaah,
seorang janda/duda berzina dan karena membunuh jiwa.” (Riwayat
Bukhari dan Muslim)
Terfokus soal
menghilangkan nyawa, dalam Islam membunuh satu orang saja sudah dianggap layak
mendapatkan hukuman mati dalam hal ini adalah Qisash Nafs, hukuman mati sebagai
ganti nyawa melayang karena pembunuhan. Bahkan luka
kehilangan anggota badan saja diatur sedemikian rupa supaya adil. Apalagi
pengedaran narkotika yang bisa saja membunuh manusia lebih dari satu orang
bahkan ribuan orang. Soal pencegahan bertaubat, Tuhan jauh lebih berhak
menerima atau menolak. Pertaubatan seseorang, tidak bisa menjadi alasan sebuah
hukum.
Di sisi lain, Ulama
kenamaan Aceh Ahmad Rifai yang menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Barat mendukung hukuman mati terhadap
terpidana kasus narkoba beberapa waktu lalu. Dia menganggap
hukuman itu pantas karena kejahatan narkoba mengancam keselamatan umat.
Ahmad Rifa’I menarik garis pertemuan masalah
melalui kacamata agama Islam,. Hukuman mati dalam Islam telah diatur menurut
kriteria kejahatannya. Bahaya Narkoba tidak kalah sadisnya seperti membunuh dan
mengancam keselamatan generasi muda bangsa. Hal ini diperkuat dengan data yang
dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) yang mencatat dalam seharinya
telah terjadi 50 kasus kematian karena narkoba. BNN juga mencatat
pengguna narkoba di negeri ini mencapai jumlah yang tidak tanggung-tanggung, 4
juta orang dari usia 10 hingga 59 tahun. Selain meninggalnya korban manusia,
narkoba juga mengorbankan kekayaan Negara yang rugi hingga 63,1 triluin rupiah.
Tentunya dengan mengaca pada dasyatnya dampak
narkoba tidak bisa diganti dengan nyawa satu orang pelaku yang berpotensi
membunuh ribuan orang rakyat. Betapapun dianggap keji, penulis tidak
membayangkan, bagaimana bisa tangisan beberapa orang saja bisa mengganti 63,1
triliun kerugian Indonesia dan terbunuhnya putra-putri bangsa dengan jumlah
yang bisa saja melampauhi bencana alam. Slamet Pribadi, Humas BNN, menguatkan
akibat narkoba dengan mengatakan bahwa generasi muda penkonsumsi narkoba
cenderung tidak berprestasi, bertindak kriminal, apatis, dan pemicu perkelahian
antar kelompok pemuda. Jika Pro-HAM membela beberapa gelintir manusia pengedar
tersebut, hanya karena kejam, kiranya juga melihat pada sisi lain akibat
perbuatan mereka yang justru lebih kejam, bahkan bisa dikatakan sebagai
pembantaian.
Ancaman Dunia Internasional, Hanya Soal Emosional
Para pimpinan Negara yang warga negaranya
dieksekusi karena narkoba di Indonesia melakukan protes keras dan menuduh
Indonesia bertindak tidak manusiawi. Membayangkan tuduhant tersebut, rasanya
bisa dikatakan adalah tuduhan bodong. Kekejaman yang dimaksud adalah kekejaman
terhadap warganya saja. Australia yang menyingkirkan suku aborigin sebagai
pemilik sah tanah benua di selatan dunia itu, apa kemudian dilupakan sebagai
kekejaman. Contoh lain, Kekejaman Belanda dan Prancis menjajah beberapa bangsa
di dunia, selama ratusan tahun apakah akan menjadi khazanah sejarah saja,
dengan alasan itu sudah terjadi di masa lalu. Jika dibalikkan, apakah tidak
bisa dikatakan apa yang terjadi hari ini suatu saat di masa depan tidak
dianggap sebagai sejarah masa lalu?
Tuduhan itu, hanyalah emosional suatu bangsa
yang ingin melindungi warganya. Namun sikap tersebut tidak bisa menjadi acuan
dalam menentukan sikap Pemerintah Indonesia untuk mengubah haluan
undang-undang. Karena akibat dari perbuatan tersebut, mempertaruhkan harkat dan
martabat bangsa, proses pematangan generasi muda, dan masa depan Indonesia,
penulis kira tidak patut disesali dan diputarbalikkan lagi. Apakah hukuman mati
hanya di Indonesia? Apa pada titik alasan berat tertentu sebuah negara tidak
bisa membunuh orang ?
Dengan adanya hukuman mati itu akan menjadi
pembelajaran bagi kita semua, menjadi hal yang sangat ditakuti. Sehingga
masyarakat tidak akan berani melakukan penyimpangan baik dari aturan agama
maupun negara. Tindakan hukuman mati untuk para bandar ulung memang harus
ditegakkan untuk menjaga reputasi hukum di Indonesia. Mencegah kemadharatan
untuk menghambat kemadharatan yang lain yang lebih besar. Untuk menegakkan itu,
memang tidak semulus tangan bidadari surga, melainkan bisa sekasar tangan
petani di sawah memainkan pacul untuk mensukseskan hasil taninya. Anggaplah
Indonesia Sedang bertani, yang suatu saat memanen hasilnya. Allahu a’lam bi
al-shawab.
***
Oleh: Nurul Fajriyah (Bendahara Rayon KH Abdurrahman Wahid 2015-2016)
*pernah dimuat di website tebuireng.org pada tanggal 19 Mei 2015
0 komentar: