Dialah adalah Ali Bin Isma'il Bin Abi
Basyar Ishaq Bin Salim Bin Isma'il Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi
Burdah Bin Shohib Rosulallahi Sollallahu 'Alaihi Wasallam Abi Musa Abdullah Bin
Qois Al-Asy'ari. Dia adalah Al-Imam Al-Mutakallim Al-Faqih Al-Ushuli yang
sangat luas ilmunya sangat terkenal namanya di Maghrib (ujung barat) dan
Masyriq (ujung timur), Sang Pembela As-Sunnah dan Penolong Ilmu Agama.
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari dilahirkan pada tahun 260 H. Awal mulanya Al-Asy'ari mengikuti Madzhab Mu'tazilah yang diajarkan oleh ayah tirinya yaitu Imam Ali Al-Jubba'i Al-mu'tazili. Bahkan Al-Imam Al-Asy'ari sering menggantikan ayah tirinya untuk menghadiri Majelis perdebatan, dan semua orang mengakui kecerdesannya dan ilmunya. Sampai pada umur 40 tahun Al-Imam Al-Asy'ari menjadi Imamnya Mu'tazilah akhirnya Al-Imam Al-Asy'ari keluar dari Madzhab Mu'tazilah dikarenakan muncul sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ayah tirinya yaitu Ali Al-Jubba'i.
Al-Imam Al-Asy'ari bertanya kepada Ali Al-Jubba'i bagaimana tanggapan ayah tentang tiga bersaudara ini?
Pertama: Orang yang mati dalam keadaan taat. Kedua: Orang yang mati dalam keadan bermaksiat. Ketiga: Anak kecil (belum baligh) yang sudah mati. Ali Al-jubba'i menjawabnya : Orang yang pertama mati dalam keaadan taat masuk surga, sedangkan yang kedua masuk neraka karna bermaksiat dan yang ketiga anak yang mati masih kecil tidak masuk surga tidak pula neraka.
Timbul pertayaan lagi di benak Imam Asy'ari, jika orang yang mati dalam keadaan kecil kemudian dia menggugat kepada Allah : "Wahai Tuhanku kenapa engkau tidak matikan saya dalam keadaan besar saja, maka aku akan selalu berbuat t'at kepadaMu, sehingga aku bisa masuk surga?".
Ali Al-Jubba'i menjawabnya : "Maka, Allah akan menjawab : "Sesungguhnya aku lebih mengetahui dari pada engkau, jika Aku besarkan engkau niscaya engkau akan bermaksiat sehingga engkau akan masuk neraka, maka alangkah baiknya Aku wafatkan dirimu dalam keadaan kecil".
Kemudian Al-Imam Al-Asy'ari bertaya lagi : "Jika orang yang kedua yaitu orang yang mati dalam keadaan bermaksiat, kemudian dia juga menggugat kepada Allah : "Wahai Tuhanku, mengapa engkau tidak matikan diriku dalam keadaan kecil saja, sehingga aku dan para Ahli Neraka tidak masuk Neraka".
Akhirnya Imam Ali Al-Jubba'i menjawabnya : "Wahai Asy'ari, kamu sudah menyalahi aturan Aqidah yang sudah ada".
Akhirnya Al-Imam Asy'ari keuar dari Madzhab Mu'tazilah yang katanya Madzhab Mu'tazilah selalu mendahulukan/mengunggulkan Rasio (akal). Setelah perdebatan sudah tidak terpecahkan oleh ayah tirinya Ali Al-Jubba'i, pada waktu itu Al-Imam Asy'ari keluar menuju Menara Masjid Jami' Bashroh, kemudian naik ke Mimbar dengan suara yang sangat keras seraya berkata :
"Wahai para Manusia, barang siapa yang kenal padaku sungguh aku telah mengenalnya dan barang siapa yang tidak kenal kepadaku maka aku akan perkenalkan diriku siapa aku sebenarnya. Aku adalah Ali Bin Isma'il Bin Abi Basyar Ishaq Bin Salim Bin Ismail Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Shohib Rosulallah Sollallahu Alaihi Wasallam Abi Musa Abdullah Bin Qois Al-Asy'ari, dan aku adalah orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an Al-Karim adalah Makhluq dan Allah SWT tidak bisa dilihat di akhirat dengan suatu pandangan, begitupun seorang hamba yang menjadikan pekerjaannya dengan kehendaknya sendiri. Semua perkataanku ini aku cabut dan aku bertaubat dari Madzhab Mu'tazilah, dan aku telah membantah mereka (Mu'tazilah) dengan kejelekan-kejelekan mereka".
"Wahai para manusia, jika di antara kalian tidak ada yang hadir pada saat ini sungguh aku telah mempunyai Dalil yang mencukupi untuk bekal hidup. Dan aku tidak mengunggulkan sesuatu apapun dengan sesuatu yang lain. Dengan dalil ini Allah telah memberikan petunjuk kepadaku menuju Aqidah yang lurus. Dan sungguh aku telah mencabut semuanya yang dulu aku yakini Aqidah Mu'tazilah sebagaimana aku mencabut baju yang dipenuhi kotoran dan telah aku buang jauh-jauh baju itu, dan yang aku ikuti sekarang adalah Madzhab yang benar yang merupakan Madzhabnya para Fuqoha' dan Muhadditsin".
Ali Al-Jubba'i menjawabnya : "Maka, Allah akan menjawab : "Sesungguhnya aku lebih mengetahui dari pada engkau, jika Aku besarkan engkau niscaya engkau akan bermaksiat sehingga engkau akan masuk neraka, maka alangkah baiknya Aku wafatkan dirimu dalam keadaan kecil".
Kemudian Al-Imam Al-Asy'ari bertaya lagi : "Jika orang yang kedua yaitu orang yang mati dalam keadaan bermaksiat, kemudian dia juga menggugat kepada Allah : "Wahai Tuhanku, mengapa engkau tidak matikan diriku dalam keadaan kecil saja, sehingga aku dan para Ahli Neraka tidak masuk Neraka". Akhirnya Imam Ali Al-Jubba'i menjawabnya : "Wahai Asy'ari, kamu sudah menyalahi aturan Aqidah yang sudah ada".
Akhirnya Al-Imam Asy'ari keuar dari Madzhab Mu'tazilah yang katanya Madzhab Mu'tazilah selalu mendahulukan/mengunggulkan Rasio (akal). Setelah perdebatan sudah tidak terpecahkan oleh ayah tirinya Ali Al-Jubba'i, pada waktu itu Al-Imam Asy'ari keluar menuju Menara Masjid Jami' Bashroh, kemudian naik ke Mimbar dengan suara yang sangat keras seraya berkata :
"Wahai para Manusia, barang siapa yang kenal padaku sungguh aku telah mengenalnya dan barang siapa yang tidak kenal kepadaku maka aku akan perkenalkan diriku siapa aku sebenarnya. Aku adalah Ali Bin Isma'il Bin Abi Basyar Ishaq Bin Salim Bin Ismail Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Shohib Rosulallah Sollallahu Alaihi Wasallam Abi Musa Abdullah Bin Qois Al-Asy'ari, dan aku adalah orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an Al-Karim adalah Makhluq dan Allah SWT tidak bisa dilihat di akhirat dengan suatu pandangan, begitupun seorang hamba yang menjadikan pekerjaannya dengan kehendaknya sendiri. Semua perkataanku ini aku cabut dan aku bertaubat dari Madzhab Mu'tazilah, dan aku telah membantah mereka (Mu'tazilah) dengan kejelekan-kejelekan mereka".
Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan
ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan
sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama
40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah
Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah
yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau
merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama
hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan
mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya
wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya.
Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya
itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya,
mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua
sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan
ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus
Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab
salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul
Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan
Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud
dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Pandangan-pandangan Asy'ariyah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di
antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti
yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti
yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid,
melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal
itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian
hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena
Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan
dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
***
Oleh: Muhammad Faisal (Ketua Rayon Syari'ah 2015-2016)
Disampaikan dalam forum Kajian Aswaja yang diagendakan PK PMII Hasyim Asy'ari
(Kamis, 15 Oktober 2015; Sekretariat PMII Hasyim Asy'ari)
0 komentar: