TANGGAL 15
Oktober 2015 beberapa hari yang lalu, bertepatan dengan 1 Muharam 1437 H. Setiap tahun baru
Islam tiba, saya selalu teringat akan kondisi umat Islam yang belum beranjak
dari keterbelakangan dan kemunduran. Kata keterbelakangan dan kemunduran ini
mengacu pada hampir semua hal: pemikiran, sains, teknologi, ekonomi,
kebudayaan, sistem politik dan lainnya.
Dunia
Islam masih terpuruk meskipun seruan kebangkitan, atau nahdhah dalam
istilah Arab, sudah digemakan oleh para mentor muslim sejak abad ke-19 ketika
dunia Islam sedang berjuang keras membebaskan diri dari kolonialisasi Barat.
Kita masih ingat tokoh-tokoh muslim Arab dan Timur Tengah seperti Thahthawi,
Tunisi, Kawakibi, Afghani, Abduh, Arselan, Qasim Amin, Roziq, Ridha dan
lain-lain yang begitu gigih ingin melepaskan dunia Islam dari keterpurukan dan
penjajahan.
Pertanyaan
reflektif waktu itu yang ingin dijawab para pionir kebangkitan Islam --yang
hingga kini terus menjadi inspirasi orang-orang Arab dan kaum muslim secara
umum--adalah "mengapa Barat maju dan dunia Arab-Islam mundur?"
Pertanyaan
ini menghantui para intelektual Arab sejak Tahthawi dan Tunisi sampai puncaknya
Amir Syakib Arselan yang menulis buku khusus berjudul pertanyaan tadi: Limadza
Ta'akhkhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum? (Mengapa Dunia Islam Mundur
dan Barat Maju?). Pertanyaan reflektif ini menghasilkan jawaban yang beragam
dari kalangan intelektual Arab-Islam. Afghani menginstruksikan pembentukan
Pan-Islamisme yang lebih banyak bernuansa politik, Abduh menyerukan
"gerakan pemikiran" yang sudah puluhan tahun mandek. Yang agak unik
adalah tawaran solusi dari Tahthawi. Meski tidak secara eksplisit menyerukan
agar masyarakat Arab-Islam mengikuti pola dan model kehidupan masyarakat
Prancis, pesan Tahthawi sangat jelas, yakni bahwa Prancis merupakan sebuah
model kehidupan yang sangat ideal bagi dunia Islam.
Lain
lagi dengan Qasim Amin. Dia melihat masalah utama dunia Arab-Islam adalah
masalah perempuan, maka ia melontarkan isu persamaan gender. Dia menulis dua
buku khusus tentang ini, yakni Tahrir al-Mar'ah (Pembebasan Perempuan)
dan Al-Mar'ah al-Jadidah (Perempuan Baru). Pada waktu itu --bahkan
hingga kini-- isu tersebut merupakan hantaman keras bagi kehidupan masyarakat
Arab yang patriarkhat dan diskriminatif terhadap perempuan. Menarik untuk dicatat,
dalam mengemukakan argumentasinya, Amin berlindung pada semangat ajaran Islam
yang menurutnya sangat menghargai hak-hak kaum perempuan tetapi sayangnya telah
dinodai dan dirusak oleh kaum muslim, budaya serta perilaku bangsa Arab.
Karenanya, ia menyerukan bangsa Arab --dan khususnya kaum muslim-- harus
kembali pada semangat dasar ajaran Islam yang toleran dan menghargai hak-hak
kaum perempuan.
Beraneka
Ragam
Jelasnya,
apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa pertanyaan reflektif di atas
telah melahirkan jawaban beraneka ragam: dari solusi yang sifatnya
"liberal", seperti Tahthawi atau Qasim Amin --dan yang paling
fenomenal adalah Ali Abdur Raziq yang menolak negara Islam (sistem khilafah)
sebagai solusi mengatasi kemunduran dunia Islam, sampai yang
"konservatif", seperti Ridha yang mendukung khilafah, dan Arselan
yang terang-terangan menyerukan ruju' ila al-nash, yakni umat Islam
harus kembali pada teks suci jika ingin keluar dari belenggu kemunduran.
Dinamika pemikiran para tokoh dan intelektual Arab-Islam itu telah ditulis oleh
Albert Hourani dalam Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1938.
Menariknya, meskipun mereka berbeda pandangan yang sangat tajam mengenai solusi
konkret mengatasi keterpurukan dunia Islam, akan tetapi hampir tidak ada tekanan
atau ancaman baik dari otoritas agama maupun rezim politik (penguasa) terhadap
pemikiran tertentu. Mereka bebas mengekspresikan pendapat. Bahkan tidak sedikit
para intelektual Kristen Arab yang juga turut memberikan kontribusi pemikiran
bagi kemajuan dunia Arab seperti Buthrus al-Bustani, Syibli Syumayyil atau
Farah Anthun. Karena itulah, Hourani menyebut era abad ke-19 hingga awal abad
ke-20 di dunia Arab-Islam sebagai liberal age.
Pada
kurun liberal ini telah menyuguhkan sebuah pentas wacana, kontestasi, di mana
tuduhan kafir atau murtad serta ancaman kematian atas nama otoritas agama dan
politik kekuasaan belum lagi dikenal atau minimal belum menjadi trend.
Pemandangan ini sangat kontras dengan dunia Arab-Islam kontemporer di mana
pemikiran liberal dipasung dan dipinggirkan dari mainstream Islam oleh
otoritas agama dan rezim politik.
Inilah
perbedaan mendasar antara dunia Arab-Islam modern (abad ke-19 sampai awal abad
ke-20) dengan Arab-Islam kontemporer (sejak 1940-an): kebebasan berpikir.
Dengan nada meledek, Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual Mesir yang dituduh murtad
dan diusir dari negaranya (kini dia di Belanda), menyebut dunia Arab-Islam
dewasa ini sebagai ashr al-takfir (era pengafiran), sementara masa
sebelumnya sebagai ashr al-tafkir (era pemikiran). Pernyataan Nasr ini
tidak berlebihan karena memang banyak para intelektual di dunia Arab, Timur
Tengah dan kawasan Islam lain dewasa ini yang mengalami nasib sial: dituduh
murtad, kafir, dipaksa cerai sama istri, dideportasi sampai dihukum bunuh hanya
karena berpikiran "melawan arus utama" pemikiran Islam.
Pembebasan
Nalar
Inilah
masalah mendasar dunia Arab-Islam dewasa ini, sehingga meskipun gerakan
kebangkitan (harakah al-nahdhah) telah digemakan sejak abad ke-19 tetapi
tidak berdampak secara positif bagi kemajuan dunia Arab-Islam. Bahkan
sebaliknya, di kawasan-kawasan Islam justru memperlihatkan pemandangan yang
mengenaskan: secara politik tidak demokratis, ekonomi hancur, pendidikan dan
peradaban terpuruk. Yang lebih menyakitkan adalah para rezim Islam (baik rezim
politik maupun agama) turut memberi andil bagi kemerosotan total dunia
Arab-Islam. Tidak jarang, otoritas agama dan rezim politik ini
"berselingkuh" untuk mewujudkan agenda politik-keagamaan tertentu
meskipun dengan mengorbankan rakyat.
Fareed
Zakaria, orang New York yang kini menjadi pimpinan majalah terkemuka dunia Newsweek,
belakangan menulis sebuah buku bagus berjudul The Future of Freedom yang antara
lain memaparkan kisah pilu dunia Arab-Islam sehingga gagal membawa rakyat ke
alam kemajuan. Kegagalan itu antara lain disebabkan lantaran rezim Arab-Islam
kontemporer tidak melanjutkan visi kebebasan yang dulu menjadi identitas
Arab-Islam.
Wacana
pemikiran Arab modern yang sebelumnya sangat kental bernuansa pencerahan (enlightment,
al-tanwir) dan pembebasan kultural kemudian bergeser ke model wacana yang
berkarakter fundamentalistik, eksklusif dan konservatif terhadap upaya-upaya
modernisasi dan rasionalisasi kehidupan masyarakat Arab-Islam.
Hal itu
terjadi setelah 1940-an beberapa rezim Islam politik berhasil mengambil alih
kekuasaan dan memulai peranan penting dalam pembuatan sejumlah regulasi yang
bernuansa konfrontasi dengan produk-produk modernitas dan Barat. Mereka
kemudian menawarkan Islam sebagai basis ideologi dan Alquran sebagai dasar
hukum pemerintahan. Jargon mereka adalah al-Islam huwa al-hall(Islam
adalah solusi). Tetapi apa yang terjadi, alih-alih mereka ingin mengangkat
citra dan identitas umat Islam dari keterpurukan, tetapi justru tindakan
ketidakdemokratisan yang mereka terima: hak-hak masyarakat sipil dibatasi
secara ketat, kaum perempuan belum juga beranjak dari status lamanya sebagai
"pelengkap penderita", demokratisasi juga dibiarkan jalan di tempat.
Semua
itu mereka lakukan atas nama "menjalankan syari'at Islam". Tafsir
atas keislaman dimonopoli sedemikian rupa oleh lembaga keagamaan sehingga tidak
ada celah atau ruang sedikitpun bagi pemikiran alternatif yang membebaskan.
Setiap muncul upaya-upaya penafsiran yang bersifat emansipatoris dan liberal
segera dienyahkan. Itulah yang kini menimpa An-Na'im, Nasr Hamid, Abdul Karim
Soroush, Syahrur, Nawal Sadawi dan lainnya.
Ke
depan, untuk membebaskan dunia Islam dari keterpurukan peradaban ini harus
diawali dengan pembebasan struktur nalar pemikiran Islam. Wacana keislaman
harus dilihat dari aspek visi etis-nya bukan teks-teks verbal yang terdapat
dalam tumpukan kitab. Etika kenabian atau spirit profetik yang membebaskan
harus kembali ditampilkan ke panggung dunia Islam. Selama ini, wujud Islam
lebih menampakkan sisi ritual, mistikal dan ideologikal ketimbang intelektual
dan sosial. Lihatlah jamaah-jamaah pengajian atau forum-forum santapan rohani
selalu dibanjiri pengunjung. Ibadah haji yang merupakan perpaduan dari kegiatan
ritual dan klenik juga selalu diminati umat. Demikian juga aktivitas klenik
(mistik) --ziarah misalnya-- juga selalu memikat umat Islam. Mereka juga
terpesona dengan kampanye Islam politik yang bergemuruh meskipun sebetulnya
kosong, hampa tak bermakna. Padahal, menurut Imam Khomeini, dalam al-Hukumah al-Islamiyah,
perbandingan ayat-ayat ritual dan sosial dalam Alquran adalah satu berbanding
seratus. Itu artinya, Islam sebetulnya sangat berpotensi untuk digerakkan
sebagai medium kultural guna membebaskan umat Islam dari keterpurukan sosial,
intelektual, ekonomi, politik dan peradaban.
Tetapi
sangat disayangkan, rupanya umat Islam belum tergerak sepenuhnya untuk
menjadikan Islam sebagai basis perubahan sosial di masyarakat, memerangi
korupsi, memerangi kriminalitas, dan menegakkan nilai-nilai demokrasi.
Referensi :
Al-jabiri.
Muhammad abid. 2001. Agama, Negara
dan Penerapan Syariah. Jogjakarta : Fajar Pustaka
Zaid. Nasr
Hamid Abu. 2004. Hermeutika Inklusif. Jakarta : International Center For Islam
and Pluralism
Maliki.Zainuddin.
2000. Agama Rakyat Agama Penguasa Konstruksi tentang Realitas Agama dan
Demokratisasi. Yogyakarta : Galang Press
***
Oleh; Rifqi Nurul Hidayat (Ketua Komisariat Hasyim Asy'ari 2015-2016)
0 komentar: