27 Januari 2018

DISKUSI ONLINE “KOMERSIALISASI : SUATU KESALAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN DI INDONESIA”


Komersialisasi yang hampir menjadi paradigma pendidikan di Indonesia, pendidikan dijadikan barang jual beli. bagi mereka yang punya uang merekalah yang berhak mendapatkan pendidikan. dalam benak masyarakat kecil, pendidikan hanya untuk orang konglomerat atau orang yang beruang saja. sempat ada isu pada tahun 2017 kemarin yang menyebutkan bahwa menteri pendidikan Muhajir Effendi akan mencbut peraturan sekolah gratis, tapi untungnya langsung diklarifikasi bahwa pemerintah tidak melepaskan begitu saja dengan membiarkan rakyat miskin untuk tidak mendapatkan haknya dalam pendidikan. tetapi dana Biaya Operasional Sekolah (BOS ) tetap berjalan dan akan ada bantuan yang lainnya seperti Program Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Pintar.
Dana tersebut memang sudah sebagian mengalir tapi tidak merata ke seluruh pelosok negeri. ketika sudah adapun masih dibuat serba ribet dengan prosedur yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ada yang antusias menyikapi program itu karena ada kepentingan individu atau kelompok dengan niatan melipat cucuran dananya masuk kekantong masing-masing alias tidak turun kesekolah-sekolah. ada juga yang tidak respon dengan kebijakan pemerintah dengan dalih masih kurang terpenuhi jika dibandingkan dengan program-program yang lain yang turun dana dengan berlipat-lipat gandanya.
Maka menyikapi hal yang demikian apakah sudah cukup bagi mereka rakyat miskin menerima dengan kenyataan yang seperti ini. Sudahkah mereka menerima pendidikan gratis karena yang bertanggungjawab memberikan hak untuk mendapatkan pendidikan adalah pemerintah. Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…” (Teks pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4)
Pemerintah kurang melakukan tindakan lanjutan setelah mengetahui ini semua. Pemerintah menjujung tinggi / istilahnya menggombor gemborkan pelajar indonesia harus di tingkatkan, tapi pendidikan di indonesia masih banyak permasalahan dan pemerintah masih kurang maksimal menangani permasalahan ini, kita kah yang salah karena masih belum banyak yang membuktikan terhadap negata tentang pengembangan pendidikan kita, atau pemerintahkah yang salah karena kurangnya tindakan?
Jika kita tinjau dari pengertiannya Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. dengan ketidakmampuaan  seorng orang dalam pendidikan maka pasti akan mengakibatkn ketidaknyaman secara dhohir dan batinian.  sedangkan dengan adanya dana bos dan angaran lain nya pasti tidak akan dapat memenuhi kebutuhn masyarakat luas.
Mengenai sikap apa yg kita ambil sebagai Mahasiswa dengan memegang peranannya sebagai agen perubahan atau agen of change
Pertama, memang betul bentuk gerak bukan hanya sumbangsih pemikiran. Tapi justru pemikiranlah yang mampu menggerakan massa atau menumbuhkan kesadaran rakyat bahkan menjadi senjata utama dalam mengawasi dan mengkritik pemerintah ketika ada ketidaksesuaian antara hak dan kewajiban pada komponen negara. Pemuda hari ini mungkin boleh dikatakan bukan sebagai penyambung lidah rakyat lagi. Karena informasi-informasi yang up to date sudah mampu didapat oleh masyarakat secara langsung. Dari berita yg benar maupun yg hoax. Tugas kita masuk bergerak menyadarkan masyarakat akan sangat sulit karena terganggu dengan fanatisme informan masyarakat yang sudah mendapat informasi lebih dulu. Maka dari itulah Sebagai mahasiswa pada  Generasi milenial ini harus menjadi media informan dan aspirasi yg benar. Konteks yang terjadi dilapangan dengan Pemberitaan harus balance dalam penyampaiannya. Sampaikan atau terlambat terabaikan
Kedua, gerak demonstrasi para mahasiswapun untuk bersuara hari ini sudah dianggap tindakan yang anarkis dibenak masyarakat atau lebih dari pada itu ada semacam sebutan bagi orang yang selalu berdemo seperti  "pasukan nasi bungkus" atau lain semacammnya. Sedikit menggelikan tapi paradigma tersebut sudah menancap pada sebagian masyarakat. Duduk manis sajakah kita menerima hasilnya?
Mendikbud menegaskan program wajib belajar 12 tahun terus akan berjalan dan negara tetap memenuhi kewajibannya untuk menggratiskan biaya pendidikan dasar, yakni tingkat SD dan SMP. Sebab, akta dia, justru saat ini pemerintah tengah gencar-gencarnya mengalokasikan anggaran untuk memperkecil kesenjangan akses pendidikan kalangan kurang mampu.
Sehingga untuk siswa-siswa kurang mampu tak hanya gratis tetapi juga memperoleh tambahan dana melalui Program Indonesia Pintar (PIP) dengan instrumen Kartu Indonesia Pintar (KIP). untuk meningkatkan kualitas pendidikan pihaknya ingin menggali potensi masyarakat yang akan berpartisipasi dalam pendidikan melalui Komite Sekolah. Biaya pendidikan yang disalurkan melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), masih bersifat terbatas untuk memenuhi kebutuhan minimum sekolah.
Diperlukan alokasi anggaran pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat agar sekolah-sekolah semakin kuat dan berkualitas. Namun demikian, biaya pendidikan tidak boleh memberatkan orang tua/ wali murid. Mendikbud dengan tegas melarang Komite Sekolah melakukan pungutan kepada mereka.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah bukan untuk mewajibkan penarikan dana dari orang tua siswa tetapi untuk menggali dana dari luar, seperti alumni, CSR, maupun individu dan unsur masyarakat lain yang tidak mengikat demi meningkatkan mutu pendidikan.

"Permendikbud tentang Komite Sekolah dimaksudkan untuk mendorong partisipasi masyarakat untuk memajukan pendidikan. Aturan ini dibuat untuk semakin memperjelas peran komite sekolah. Apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, termasuk mengenai penggalangan dana pendidikan. Bukan untuk mewajibkan pungutan,"
Adanya sebagai ladang bisnis itu dimanfaatkan oleh oknum sekolah2 dengan persenan yg turun dari pemerintah tidak sepenuhnya 100 persen tapi kisaran setengahnya atau lebih kecil dari itu. Maka adanya ketidak samarataan yg mendapatkan biaya gratis atau yg tidak gratispun lebih parah dalam praktik bisnis jual beli didalamnya.
Jadi sebenarnya siapa yang salah?  Pemerintahkah?  Atau pihak instansi pendidikan yang sengaja mencari ceperan? Karna guyonannya seperti ini “ sekolah memang sudah gratis hanya ada biaya IURAN/sumbangan, bangunan, dll. Atau semacam iuran yang sudah di tentukan”
Penemuan di lapangan kebanyakan masyarkat yang tidak mampu lebih memilih untuk bekerja di usia dini dibandingkan mengenyam pendidikan. Minimnya lapangan pekerjaan dibenturkan dengan memaknai tujuan bersekolah untuk mendapatkan pekerjaan, pilihannya adalah sekolah memerlukan biaya besar sedangkan pekerjaan menghasilkan biaya. Sampai pada akhirnya sekolah sudah tidak penting lagi baginya. Dan berapa banyak angka pengangguran yang dialami oleh mereka yang lulus mengenyam pendidikan. Mungkin Yang harus dilakukan adalah bagaimana menyadarkan pentingnya pendidikan dan mensinergikan antara pendidikan dan lapangan kerja.
Sebuah data menunjukan bahwa anggaran 20% dari anggaran APBN tidak smua diperuntukan untuk pembiayaan pendidikan karna  dari anggaran ini telah terbagi untuk tunjagan gaji kepada guru2. Kalau kita lihat khusus anggaran pendidikan, data dan fakta berbicara. Anggaran pendidikan di tahun 2017 itu Rp 419 triliun. Tetapi dari Rp 419 triliun tadi, Rp 261 triliunnya adalah untuk transfer ke daerah, Rp 155 triliunnya digunakan untuk Kementerian/Lembaga seperti Kemenristekdikti dan Kemenag. Ironisnya, dari Rp 261 triliun tadi, Rp 247 triliunnya itu untuk gaji dan tunjangan. Porsi belanja modal untuk pembangunan, renovasi dan rehabilitasi gedung sekolah hanya Rp 7,7 triliun. Itu sebabnya banyak gedung sekolah yang rusak di daerah," Anggaran pendidikan yang dialokasikan dari pusat tadi, tak semua daerah mengalokasikan porsi yang sama. Padahal, anggaran dari pusat sudah banyak dibelanjakan untuk belanja pegawai. "Di APBD, anggaran pendidikan Rp 231 triliun dari total belanja. Tapi kalau kita lihat, minimal harusnya sama atau jauh lebih besar dari pusat. Ini menebabkan kondisi sarana pendidikan belum memadai. Jumlah ruang SD kelasnya yang rusak ada 178.194. Diperlukan sekitar Rp 20 triliun untuk merehabilitasi itu. Sementara kemampuan untuk merehabilitasi gedung SD tadi hanya Rp 2,1 triliun. Artinya butuh waktu 10 tahun hanya untuk bisa merehab gedung tadi kalau cuma bisa Rp 2 triliun setiap tahunnya.

Fakta ini semakin diperparah dengan kualitas pendidikan Indonesia yang jika dibandingkan dengan 69 negara menduduki posisi jajaran bawah. Hal ini bisa menjadi cerminan dari kuantitas dan kualitas tenaga pendidik yang dimiliki Indonesia. Dari jumlah guru yang ada berjumlah 3,9 juta, 45% guru PNS, 55% guru non PNS, 25% guru di antaranya belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% guru belum memiliki sertifikat profesi. Padahal, tunjangan khusus guru sudah meningkat hampir tiga kali lipat dari sebelumnya."Peringkat skor pendidikan Indonesia untuk science itu di nomor 62, membaca 61, matematika 63, dari 69 negara di tahun 2015.      
Ketika kita melihat biaya pendidikan di negeri kita ini masih terbilang mahal dan kualitasnya masih tertinggal dibanding dengan negara tetangga seperti Singgapura dan Malaysia Akhirnya pemikiran kita tertuju pada masih banyaknya permainan politik kotor atau praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di negeri Indonesia ini.
Rabu, 24 Januari 2018 19.30-22.00 Wib

Salam pergerakan.... !!


Related Posts

0 komentar: