Komersialisasi yang hampir menjadi paradigma pendidikan di
Indonesia, pendidikan dijadikan barang jual beli. bagi mereka yang punya uang
merekalah yang berhak mendapatkan pendidikan. dalam benak masyarakat kecil,
pendidikan hanya untuk orang konglomerat atau orang yang beruang saja. sempat
ada isu pada tahun 2017
kemarin yang menyebutkan bahwa menteri pendidikan Muhajir Effendi
akan mencbut peraturan sekolah gratis, tapi untungnya langsung diklarifikasi
bahwa pemerintah tidak melepaskan begitu saja dengan membiarkan rakyat miskin
untuk tidak mendapatkan haknya
dalam pendidikan. tetapi dana Biaya Operasional Sekolah (BOS ) tetap berjalan dan akan ada bantuan yang
lainnya seperti Program Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Pintar.
Dana tersebut memang sudah sebagian mengalir tapi tidak
merata ke seluruh pelosok negeri. ketika sudah adapun masih dibuat serba ribet
dengan prosedur yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ada
yang antusias menyikapi program itu karena ada kepentingan individu atau
kelompok dengan niatan melipat cucuran dananya masuk kekantong masing-masing
alias tidak turun kesekolah-sekolah. ada juga yang tidak respon dengan
kebijakan pemerintah dengan dalih masih kurang terpenuhi jika dibandingkan
dengan program-program yang lain yang turun dana dengan berlipat-lipat
gandanya.
Maka menyikapi hal yang demikian apakah sudah cukup bagi
mereka rakyat miskin menerima dengan kenyataan yang seperti ini. Sudahkah
mereka menerima pendidikan gratis karena yang bertanggungjawab memberikan hak
untuk mendapatkan pendidikan adalah pemerintah. Kemudian dari pada itu,
untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia, yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia…” (Teks pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4)
Pemerintah kurang melakukan tindakan lanjutan setelah
mengetahui ini semua. Pemerintah menjujung tinggi / istilahnya menggombor
gemborkan pelajar indonesia harus di tingkatkan, tapi pendidikan di indonesia
masih banyak permasalahan dan pemerintah masih kurang maksimal menangani
permasalahan ini, kita kah yang salah karena masih belum banyak yang
membuktikan terhadap negata tentang pengembangan pendidikan kita, atau
pemerintahkah yang salah karena kurangnya tindakan?
Jika kita tinjau dari pengertiannya Kemiskinan adalah
keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. dengan
ketidakmampuaan seorng orang dalam
pendidikan maka pasti akan mengakibatkn ketidaknyaman secara dhohir dan
batinian. sedangkan dengan adanya dana
bos dan angaran lain nya pasti tidak akan dapat memenuhi kebutuhn masyarakat
luas.
Mengenai sikap apa yg kita ambil sebagai Mahasiswa dengan
memegang peranannya sebagai agen perubahan atau agen of change?
Pertama,
memang betul bentuk gerak bukan hanya sumbangsih pemikiran. Tapi justru
pemikiranlah yang mampu menggerakan massa atau menumbuhkan kesadaran rakyat bahkan
menjadi senjata utama dalam mengawasi dan mengkritik pemerintah ketika ada
ketidaksesuaian antara hak dan kewajiban pada komponen negara. Pemuda hari ini
mungkin boleh dikatakan bukan sebagai penyambung lidah rakyat lagi. Karena
informasi-informasi yang up to date sudah mampu didapat oleh masyarakat
secara langsung. Dari berita yg benar maupun yg hoax. Tugas kita masuk bergerak
menyadarkan masyarakat akan sangat sulit karena terganggu dengan fanatisme
informan masyarakat yang sudah mendapat informasi lebih dulu. Maka dari
itulah Sebagai mahasiswa pada Generasi
milenial ini harus menjadi media informan dan aspirasi yg benar. Konteks
yang terjadi dilapangan dengan Pemberitaan harus balance dalam penyampaiannya.
Sampaikan atau terlambat terabaikan
Kedua,
gerak demonstrasi para mahasiswapun untuk bersuara hari ini sudah dianggap
tindakan yang anarkis dibenak masyarakat atau lebih dari pada itu ada semacam sebutan
bagi orang yang selalu berdemo seperti "pasukan nasi bungkus" atau lain
semacammnya. Sedikit menggelikan tapi paradigma tersebut sudah menancap pada
sebagian masyarakat. Duduk manis sajakah kita menerima hasilnya?
Mendikbud menegaskan program wajib belajar 12 tahun terus
akan berjalan dan negara tetap memenuhi kewajibannya untuk menggratiskan biaya
pendidikan dasar, yakni tingkat SD dan SMP. Sebab, akta dia, justru saat ini
pemerintah tengah gencar-gencarnya mengalokasikan anggaran untuk memperkecil
kesenjangan akses pendidikan kalangan kurang mampu.
Sehingga untuk siswa-siswa kurang mampu tak hanya gratis
tetapi juga memperoleh tambahan dana melalui Program Indonesia Pintar (PIP)
dengan instrumen Kartu Indonesia Pintar (KIP). untuk meningkatkan kualitas
pendidikan pihaknya ingin menggali potensi masyarakat yang akan berpartisipasi
dalam pendidikan melalui Komite Sekolah. Biaya pendidikan yang disalurkan
melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), masih bersifat terbatas untuk
memenuhi kebutuhan minimum sekolah.
Diperlukan alokasi anggaran pemerintah daerah dan
partisipasi masyarakat agar sekolah-sekolah semakin kuat dan berkualitas. Namun
demikian, biaya pendidikan tidak boleh memberatkan orang tua/ wali murid.
Mendikbud dengan tegas melarang Komite Sekolah melakukan pungutan kepada
mereka.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah bukan untuk
mewajibkan penarikan dana dari orang tua siswa tetapi untuk menggali dana dari
luar, seperti alumni, CSR, maupun individu dan unsur masyarakat lain yang tidak
mengikat demi meningkatkan mutu pendidikan.
"Permendikbud tentang Komite Sekolah dimaksudkan untuk mendorong
partisipasi masyarakat untuk memajukan pendidikan. Aturan ini dibuat untuk
semakin memperjelas peran komite sekolah. Apa saja yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, termasuk mengenai penggalangan dana pendidikan. Bukan untuk
mewajibkan pungutan,"
Adanya sebagai ladang bisnis itu dimanfaatkan oleh oknum sekolah2 dengan
persenan yg turun dari pemerintah tidak sepenuhnya 100 persen tapi kisaran
setengahnya atau lebih kecil dari itu. Maka adanya ketidak samarataan yg
mendapatkan biaya gratis atau yg tidak gratispun lebih parah dalam praktik
bisnis jual beli didalamnya.
Jadi sebenarnya siapa yang salah?
Pemerintahkah? Atau pihak instansi
pendidikan yang sengaja mencari ceperan? Karna guyonannya seperti ini “
sekolah memang sudah gratis hanya ada biaya IURAN/sumbangan, bangunan, dll. Atau
semacam iuran yang sudah di tentukan”
Penemuan di lapangan kebanyakan masyarkat yang tidak
mampu lebih memilih untuk bekerja di usia dini dibandingkan mengenyam
pendidikan. Minimnya lapangan pekerjaan dibenturkan dengan memaknai tujuan
bersekolah untuk mendapatkan pekerjaan, pilihannya adalah sekolah memerlukan
biaya besar sedangkan pekerjaan menghasilkan biaya. Sampai pada akhirnya sekolah
sudah tidak penting lagi baginya. Dan berapa banyak angka pengangguran yang
dialami oleh mereka yang lulus mengenyam pendidikan. Mungkin Yang harus
dilakukan adalah bagaimana menyadarkan pentingnya pendidikan dan mensinergikan
antara pendidikan dan lapangan kerja.
Sebuah data menunjukan bahwa anggaran 20% dari anggaran
APBN tidak smua diperuntukan untuk pembiayaan pendidikan karna dari anggaran ini telah terbagi untuk
tunjagan gaji kepada guru2. Kalau kita lihat khusus anggaran pendidikan, data
dan fakta berbicara. Anggaran pendidikan di tahun 2017 itu Rp 419 triliun.
Tetapi dari Rp 419 triliun tadi, Rp 261 triliunnya adalah untuk transfer ke
daerah, Rp 155 triliunnya digunakan untuk Kementerian/Lembaga seperti
Kemenristekdikti dan Kemenag. Ironisnya, dari Rp 261 triliun tadi, Rp 247
triliunnya itu untuk gaji dan tunjangan. Porsi belanja modal untuk pembangunan,
renovasi dan rehabilitasi gedung sekolah hanya Rp 7,7 triliun. Itu sebabnya
banyak gedung sekolah yang rusak di daerah," Anggaran pendidikan yang
dialokasikan dari pusat tadi, tak semua daerah mengalokasikan porsi yang sama.
Padahal, anggaran dari pusat sudah banyak dibelanjakan untuk belanja pegawai. "Di
APBD, anggaran pendidikan Rp 231 triliun dari total belanja. Tapi kalau kita
lihat, minimal harusnya sama atau jauh lebih besar dari pusat. Ini menebabkan
kondisi sarana pendidikan belum memadai. Jumlah ruang SD kelasnya yang rusak
ada 178.194. Diperlukan sekitar Rp 20 triliun untuk merehabilitasi itu.
Sementara kemampuan untuk merehabilitasi gedung SD tadi hanya Rp 2,1 triliun.
Artinya butuh waktu 10 tahun hanya untuk bisa merehab gedung tadi kalau cuma
bisa Rp 2 triliun setiap tahunnya.
Fakta ini semakin diperparah dengan kualitas pendidikan
Indonesia yang jika dibandingkan dengan 69 negara menduduki posisi jajaran
bawah. Hal ini bisa menjadi cerminan dari kuantitas dan kualitas tenaga
pendidik yang dimiliki Indonesia. Dari jumlah guru yang ada berjumlah 3,9
juta, 45% guru PNS, 55% guru non PNS, 25% guru di antaranya belum memenuhi
syarat kualifikasi akademik dan 52% guru belum memiliki sertifikat profesi.
Padahal, tunjangan khusus guru sudah meningkat hampir tiga kali lipat dari
sebelumnya."Peringkat skor pendidikan Indonesia untuk science itu di nomor
62, membaca 61, matematika 63, dari 69 negara di tahun 2015.
Ketika kita melihat biaya pendidikan di negeri kita ini masih terbilang
mahal dan kualitasnya masih tertinggal dibanding dengan negara tetangga seperti
Singgapura dan Malaysia Akhirnya pemikiran kita tertuju pada masih banyaknya
permainan politik kotor atau praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di negeri
Indonesia ini.
Rabu, 24 Januari 2018 19.30-22.00 Wib
Salam pergerakan.... !!
0 komentar: