Kamis, 14 Desember 2017, PMII Komisariat Hasyim Asy’ari mengadakan
acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Acara ini dimulai dengan pembacaan
salawat Maulid Diba’ yang dibacakan seluruh peserta acara. Selanjutnya,
acara dilanjutkan dengan diskusi, dengan tema “membedah sisi-sisi mistik Nabi
Muhammad SAW dalam perspektif al-Ghazali”. Berperan menjadi narasumber pada
diskusi kali ini sahabat Yayan Mustafa, alumni Ma’had aly Hasyim Asy’ari dan
Capetown University, Afrika Selatan dengan konsentrasi studi tasawuf
al-Ghazali.
Eskatologi, atau ajaran teologi tentang kepercayaan akan akhirat,
hari kebangkitan, dan surga dan neraka, memang tidak akan terpisah dari suatu
ajaran agama, khususnya Islam. Setiap risalah yang dibawa oleh para nabi tidak
akan lekang darinya. Muhammad sebagai nabi akhir zaman pelengkap risalah para
nabi sebelumnya, menjadikannya sebagai manusia terbaik. Visi kenabiaanya
melebihi satu dimensi, dimensi manusia yang dhohir, tapi juga masuk
dalam dimensi jin yang batin. Begitu pula pengetahuannya, seakan-akan tak ada
batasan dalam pengetahuannya. Benar saja, ucapannya adalah wahyu, begitu
Alquran memberi sikap tentangnya. Sehingga, bisa dikatakan segalanya sudah
dilampauinya dan sadar tentangnya.
Al-Ghazali menceritakan itu dalam Qanunut Takwil-nya. Diawali
dengan mengalirnya setan dalam aliran darah, beliau menuturkan tentang adanya
benang merah antara syariah dengan pendapat para filosof tentang ini. Hanya
saja beliau bersikap “nakal” dalam hal ini (mungkin dalam kebanyakan kasus
juga), sehingga tak ada pendapat pasti yang mewakili pendapatnya. Lebih dari
itu, sebelum menuju pembahasan, selalu dipertanyakannya tentang dasar pikiran
penanya. Dari situlah, beliau membagi kelompok yang berpikir dengan garis besar
rasio dan wahyu menjadi lima kelompok. Pertama, para pemegang nash asli tanpa otak-atik akal didalamnya.
Kedua, para pemikir yang rasionalis. Ketiga, kelompok yang moderat, dari sini
dibagi lagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang menjadikan akal
sebagai pondasi sedang nash sebagai penyokong. Kedua, kelompok yang
menjadikan nash sebagai pondasi sedang akal sebagai penyokong. Ketiga,
kelompok yang memadukan antara keduanya (al-jam’u).
Lima kelompok ini menjadikan manusia hidup dan berpikir menurut dasar
pikirannya. Tidak hanya itu, pengetahuan manusia yang terbatas dan
bermacam-macam juga menjadikannya berbeda-beda, sehingga pemikiran seorang akan
tergantung pada orientasinya. Seorang akademisi akan berpikir secara akademik,
seorang kyai kampung akan berpikir sesuai nilai yang ada di sekitarnya, seorang
santri akan berpikir sesuai bagaimana kyai dan pesantren membentuknya, dan
sebagainya. Sehingga ketika berbicara menuju “kemistikan” Nabi, al-Ghazali
disini seakan-akan hanya menggambarkan tanpa memberi solusi.
Yah, begitulah Nabi Muhammad. Visinya yang lintas dunia dan
pengetahuannya yang lintas waktu dan tempat, membuat sesiapa yang ingin
menggapainya tidak akan bisa menggapainya secara keseluruhan. Keterbasan yang
dimiliki manusia membuatnya tak bisa menjangkau segalanya, ketika dia
menjangkau yang ini, dia harus rela kehilangan yang itu. Sehingga pemikiran
yang utuh (al-jam’u) dirasa sangat mustahil bagi manusia, karena mau
tidak mau orientasi dan egonya lagi-lagi akan membawanya pada salah satu sisi
yang tidak benar-benar tengah.
Diskusi kitab Qanunut Takwil karya al-Ghazali ini cukup
menarik hati peserta diskusi. Terdapat beberapa pertanyaan dari peserta,
berikut pula jawaban dan penuturan dari pemateri, dan ditimpali sharing pendapat
dari eserta lain. Diskusi menjadi tampak lebih menarik ketika para senior ikut
memberikan pendapatnya, sehingga selain memberi pencerahan, juga menambah
rangsangan dalam berpikir.
**
Ikmaluddin Fikri (Pengurus Komisariat Hasyim Asy’ari periode 2017/2018)
0 komentar: