21 Desember 2017

Eskatologi Muhammad SAW

Kamis, 14 Desember 2017, PMII Komisariat Hasyim Asy’ari mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Acara ini dimulai dengan pembacaan salawat Maulid Diba’ yang dibacakan seluruh peserta acara. Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan diskusi, dengan tema “membedah sisi-sisi mistik Nabi Muhammad SAW dalam perspektif al-Ghazali”. Berperan menjadi narasumber pada diskusi kali ini sahabat Yayan Mustafa, alumni Ma’had aly Hasyim Asy’ari dan Capetown University, Afrika Selatan dengan konsentrasi studi tasawuf al-Ghazali.
Eskatologi, atau ajaran teologi tentang kepercayaan akan akhirat, hari kebangkitan, dan surga dan neraka, memang tidak akan terpisah dari suatu ajaran agama, khususnya Islam. Setiap risalah yang dibawa oleh para nabi tidak akan lekang darinya. Muhammad sebagai nabi akhir zaman pelengkap risalah para nabi sebelumnya, menjadikannya sebagai manusia terbaik. Visi kenabiaanya melebihi satu dimensi, dimensi manusia yang dhohir, tapi juga masuk dalam dimensi jin yang batin. Begitu pula pengetahuannya, seakan-akan tak ada batasan dalam pengetahuannya. Benar saja, ucapannya adalah wahyu, begitu Alquran memberi sikap tentangnya. Sehingga, bisa dikatakan segalanya sudah dilampauinya dan sadar tentangnya.
Al-Ghazali menceritakan itu dalam Qanunut Takwil-nya. Diawali dengan mengalirnya setan dalam aliran darah, beliau menuturkan tentang adanya benang merah antara syariah dengan pendapat para filosof tentang ini. Hanya saja beliau bersikap “nakal” dalam hal ini (mungkin dalam kebanyakan kasus juga), sehingga tak ada pendapat pasti yang mewakili pendapatnya. Lebih dari itu, sebelum menuju pembahasan, selalu dipertanyakannya tentang dasar pikiran penanya. Dari situlah, beliau membagi kelompok yang berpikir dengan garis besar rasio dan wahyu menjadi lima kelompok. Pertama, para pemegang  nash asli tanpa otak-atik akal didalamnya. Kedua, para pemikir yang rasionalis. Ketiga, kelompok yang moderat, dari sini dibagi lagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang menjadikan akal sebagai pondasi sedang nash sebagai penyokong. Kedua, kelompok yang menjadikan nash sebagai pondasi sedang akal sebagai penyokong. Ketiga, kelompok yang memadukan antara keduanya (al-jam’u).
Lima kelompok ini menjadikan manusia hidup dan berpikir menurut dasar pikirannya. Tidak hanya itu, pengetahuan manusia yang terbatas dan bermacam-macam juga menjadikannya berbeda-beda, sehingga pemikiran seorang akan tergantung pada orientasinya. Seorang akademisi akan berpikir secara akademik, seorang kyai kampung akan berpikir sesuai nilai yang ada di sekitarnya, seorang santri akan berpikir sesuai bagaimana kyai dan pesantren membentuknya, dan sebagainya. Sehingga ketika berbicara menuju “kemistikan” Nabi, al-Ghazali disini seakan-akan hanya menggambarkan tanpa memberi solusi.
Yah, begitulah Nabi Muhammad. Visinya yang lintas dunia dan pengetahuannya yang lintas waktu dan tempat, membuat sesiapa yang ingin menggapainya tidak akan bisa menggapainya secara keseluruhan. Keterbasan yang dimiliki manusia membuatnya tak bisa menjangkau segalanya, ketika dia menjangkau yang ini, dia harus rela kehilangan yang itu. Sehingga pemikiran yang utuh (al-jam’u) dirasa sangat mustahil bagi manusia, karena mau tidak mau orientasi dan egonya lagi-lagi akan membawanya pada salah satu sisi yang tidak benar-benar tengah.
Diskusi kitab Qanunut Takwil karya al-Ghazali ini cukup menarik hati peserta diskusi. Terdapat beberapa pertanyaan dari peserta, berikut pula jawaban dan penuturan dari pemateri, dan ditimpali sharing pendapat dari eserta lain. Diskusi menjadi tampak lebih menarik ketika para senior ikut memberikan pendapatnya, sehingga selain memberi pencerahan, juga menambah rangsangan dalam berpikir.
**

Ikmaluddin Fikri (Pengurus Komisariat Hasyim Asy’ari periode 2017/2018)

Related Posts

0 komentar: