Pada dasarnya berorganisasi merupakan
sebuah aktivitas yang sudah kita pelajari sejak kecil. Misalkan saja kita
bermain kelereng. Dalam permainan itu ada aturan yang harus diikuti. Contoh
lain, kita bermain remi ataupun poker, dalam permainan itu juga ada aturan yang
disepakati dan diikuti. Dalam permainan tidak hanya ada satu orang, tapi
beberapa orang yang semuanya sepakat dengan aturan itu, memainkan permainan
dengan fair serta masing-masing pemain saling berkompetisi untuk menjadi
juara atau pemenang.
Seperti halnya permainan di atas, maka menjadi
sebuah kecelakaan besar jika aktivis mahasiswa masih saja bingung dalam berorganisasi,
dalam bermain. Tak tahu apa yang harus dilakukan dan tak tahu mana yang harus
diutamakan. Ini sebenarnya bukanlah sebuah persoalan yang besar, hanya perlu
sedikit pemahaman untuk dapat menjalankan organisasi dengan baik. Namun akan
menjadi persoalan besar dan menjadi kegagalan yang terus terulang apabila masalah
ini tidak segera disikapi.
Dalam berorganisasi tak hanya terdiri
dari satu orang, namun beberapa orang yang sama-sama bermain untuk satu tujuan,
menjadi sang “Pemenang.” Dalam organisasi ada aturan yang disepakati seperti
halnya permainan. Kita mengenalnya dengan istilah konstitusi atau AD-ART.
Kesadaran seorang anak dalam bermain
kelereng, strategi yang ia gunakan, waktu yang tepat serta kesabaran dalam
permainan menjadi modal utama untuk menjadi pemenang. Kesadaran itu pula, harus
dimiliki oleh seorang organisatoris. Kesadaran akan strategi yang ia gunakan,
waktu yang tepat atau managemant waktu, serta kesabaran dan ketelatenan.
Karena target permainan ini adalah menjadi “Pemenang.”
Harus diakui bersama, bahwa kesadaran ini
jarang kita miliki sebagai orang-orang yang berorganisasi. Kita seringkali
mengabaikan bahkan melanggar aturan yang sudah kita sepakati bersama,
sebagaimana aturan dalam permainan itu. Dengan sendirinya, ketika seorang pemain
melanggar aturan, dia akan didiskualifikasi. Begitu juga dalam organisasi,
orang yang melanggar akan didiskualifikasi oleh siapa? Oleh pemain yang lain,
atau oleh Tuhan sebagai juri independen dalam organisasi ini.
Sebuah program kerja yang sangat ideal,
akan menjadi program kerja yang kurang jelas arah dan tujuannya, ketika
pelaksana program tidak konsisten dalam menjalankannya. Terlebih lagi, jika
masing-masing pelaksana program tidak memiliki spirit secara pribadi dan
personal untuk mencapai target sebagi “Pemenang.”
Organisasi hanya menjadi sebuah kumpulan
orang dengan beban hidup untuk menjalankan program kerja yang tidak jelas itu
selama satu periode. Ketika program terealisasi dan selesai masa kepengurusan,
selesai sudah tugas dan amanah yang kita emban. Kita kembali menjalankan
aktifitas yang sebagimana kita sebelum terjun dalam dunia organisasi. Dalam
benak kita tidak sedikitpun terbesit keinginan untuk menjadi seorang pemenang,
menjadi seorang petarung yang siap bertarung di
gelanggang yang lebih besar dengan berbagai penghargaan yang akan kita miliki.
Andai saja kita sebagai orang-orang yang
berorganisasi, masing-masing memiliki spirit menjadi pemenang, tentunya tidak
ada lagi kebingungan dan kegelisahan tentang apa yang haruskita lakukan. Kita
akan terus fokus demi mendapat sebuah tujuan yakni kemenangan. Sebuah penghargaan,
sebuah kebanggaan yang tidak mungkin bisa didapat hanya dengan berdiam diri,
selalu menyalahkan orang lain, termasuk menyalahkan diri sendiri.
Untuk menjadi seorang pemenang, seorang
organisatoris harus muncul dalam dirinya spirit menjadi seorang “Pemenang.” Sehingga
seorang organisatoris dengan sendirinya dia akan selalu berusaha mencapai
sebuah kemenangan dengan selalu berusaha mencerdaskan diri, mengelola emosi,
menguatkan spiritual, membangun jaringan, dan membangun mindset yang
terbuka untuk menjadi orang yang dibanggakan, menjadi manusia yang mampu
bertarung di setiap gelanggang kehidupan dalam mencapai visi besar insan
ulil albab.
**
Adam Fadli (Ketua Komisariat Priode 2011-2012)
0 komentar: