05 April 2015

Kota

SEMUA makhluk hidup mencintai kotanya. Tapi saya melebihi semuanya itu. Rasanya saya bersedia berkelahi hingga mati kalau saja ada yang meremehkannya. Bukan saja kotanya yang kusenangi, melainkan administratornya. Mereka seakan-akan diturunkan dari langit khusus untuk merawat kota, tak ada yang lain dari kota. Mereka siap berbuat apa saja untuk kepentingan kota, bahkan tanpa digaji sekalipun. Hanya karena menolak gaji bisa diartikan menghina negara, dengan berat hati gaji itu diterima juga. Pegangan mereka satu-satunya hanyalah rasa ikhlas itu.
“Apakah cukup dengan ikhlas itu?” tanya saya.
“Lebih dari cukup. Bila kita ikhlas, kita tak pernah merasa lapar. Bahkan tak memerlukan kendaraan bermotor atau kulkas,” jawab mereka.
“Masya Allah,” sambut saya. Sungguh mengharukan.
Ibarat pohon tinggi mesti siap kena pukul angin, begitu pula para administrator kotaku itu. Rupa-rupa fitnah dan iri dihamburkan ke muka mereka, yang kalau saja tidak kuat-kuat iman, bisa membikin mereka semaput. Misalnya, fitnah seakan-akan mereka menuntut uang pelicin jika mau urusan lekas beres. Misalnya, fitnah seakan-akan kerja mereka tak lain dari melancarkan rupa-rupa pungutan dan pajak, tanpa sedikit pun memperhatikan pelayanan publik. Saking banyaknya pungutan pajak ini dan pajak itu, sampai-sampai ada orang jail yang menyindir: mengapa tidak ditambah saja pajak hujan, supaya komplet? Suara-suara ini mereka masukkan ke kuping kanan untuk dikeluarkan di kuping kiri, dan mereka terus bekerja keras sebagaimana mestinya. Atau seperti kata Ilya Eehrenburg, mereka bekerja seperti bukan manusia.

BUKAN manusia? Ya. Belum lagi penduduk bangkit dari tempat tidurnya, petugas-petugas kota sudah sibuk menyapu jalan, biji sawi pun tiada yang tercecer, sehingga lorong kota gemerlapan seperti halnya jidat kita. Mereka periksa lubang-lubang yang sekiranya ada terdapat, buru-buru menambalnya, khawatir kalau-kalau ada warganya bisa tersandung. Mereka periksa gorong-gorong kalau-kalau tersumbat, walhasil mesti betul-betul bersih, lebih bersih (kalau bisa) dari lubang hidung warga kota sendiri. Mereka tanam tiap jengkal tanah pinggir jalan dengan batang-batang pohon hias, begitu pula menyediakan bibit-bibit yang setiap saat bisa diminta penduduk tanpa bayar sepeser pun. Mengapa pula mesti bayar? Bukankah pemerintah kota itu bukan tukang tanaman?
Lebih dari semuanya itu, sikap dan selera mutakhirnya yang saya anggap luar biasa. Ketika sepuluh tahun yang lalu musim klab malam, kota saya amatlah responsif. Di hampir tiap gang terdapat tempat-tempat itu, yang ditandai dengan aneka warna lampu yang tak henti-hentinya berkedap-kedip. Memang ada mulut iseng yang mengatakan kota saya kota maksiat, tapi orang-orang macam ini hanyalah mampu melihat kulit tanpa memahami isinya. Mereka tak mampu berpikir, betapa kota perlu hiburan, seperti halnya ia perlu makan serta minum. Mereka tak tahu, interaksi positif telah terjadi: penduduk senang dan kotamadya pun peroleh uang. Perkara akibat sampingan, orang tidur melulu pun punya akibat sampingan juga, bukan? Sesudah klab malam kehabisa musim, timbul di mana-mana panti pijat, baik yang tradisional maupun yang modern. Sepintas lalu memang bisa timbulkan kesan seakan-akan penduduk kota pegal serta linu sekujur tubuhnya dan memerlukan perawatan segera sesudah itu. Padahal, masalahnya tidaklah sesederhana itu. Buat orang yang sudah mendalami duduk perkara, panti pijat tidak selamanya mesti dikaitkan dengan pegal atau linu. Ada faktor-faktor lain yang lebih luhur dari itu.
Sesudah itu? Sesudah itu rumah bola sodok. Di hampir tiap tikungan jalan tersedia belaka tempat itu. bila di zaman kolonial tempat begituan cuma tersedia khusus untuk opsir-opsir dan tuan tanah perkebunan yang kebetulan turun ke kota, sesudah kemerdekaan ini setiap orang boleh saja mendorong-dorong bola hingga masuk lubang sesudah saling saling bersentuhan sesamanya. Bila tempo dulu permainan umumnya orang pensiunan, sekarang tidaklah demikian halnya. Sekarang, lelaki tua dan muda bisa membungkuk dan memicing-micingkan mata seberapa lama mereka suka. Yang belum kelihatan menggemari permainan ini hanyalah kaum wanita. Apa sebabnya, tidaklah jelas.

SESUDAH itu? Sesudah itu adalah proyek perkantoran. Di mana-mana dibangun orang gedung-gedung perkantoran, sehingga kota saya seakan-akan isinya cuma kantor melulu. Memang kadang-kadang ada juga pertanyaan, apakah memang urusan sudah begitu banyaknya sehingga diperlukan kantor-kantor sebanyak itu? Pertanyaan semacam ini pastilah datang dari mulut mereka yang tak memahami betapa modernisasi itu sejalan dengan mobilitas administrasi surat menyurat, betapa kemajuan dan dinamika haruslah diukur dari jumlah kantor, sebab di hutan tidak ada peradaban.
Sesudah itu? Sesudah itu kota saya tak henti-hentinya membangun proyek toko, baik toko konvensional maupun toko swalayan, di mana pembeli meraih sendiri barang-barang seakan di rumah oomnya. Begitu banyaknya toko, seakan lebih banyak toko dari rumah penduduk. Lagi-lagi orang dangkal pikiran sering bertanya sesamanya, kalau toko dibangun banyak-banyak, pernahkan dipikirkan, apakah daya beli orang memang sanggup mengimbanginya? Ah, itu soal lain sama sekali. Itu bukan urusan kotamadya sama sekali. Sungguh benar, Administrator kota hanya berkewajiban membangun toko, perkara daya beli menjadi urusan warga sendiri.
Dan sesudah itu? tentu saja menggalakkan balai-balai kursus komputer. Di mana-mana tampak. Di mana-mana tercium wangi kecanggihan. Komputer, lambang supremasi. Tanpanya dunia ini bakal berhenti berputar.
“Di Amerika, karena sudah kebanyakan orang terpikir menganjurkan KB untuk menghambat komputer. Bagaimana?” tanya saya.
“Gila itu.” jawab administrator kota dengan tegas.

***
Mahbub Djunaidi; Asal-usul - Kompas, 23 November 1986
Previous Post Afrika
Next Post Kecuali

Related Posts

0 komentar: