Mimpi indah justru membuatku terusik untuk bangun dari tidur,
udara pertama yang aku cium berbau busuk, entahlah bau dari mana ini, yang
jelas ini adalah bau keadaan yang tidak di inginkan. Ternyata setelah ku buka
mata, keadaan sekitar jauh lebih buruk dari bau yang aku cium tadi.
Keadaan ini memaksaku bangun dan melihat tontonan di negeri ini,
yang mana sang lakon tidak lagi menjadi pemeran utama dalam laganya. Mereka
sekarang beralih peran sebagai wayang-wayang yang dipermainkan oleh sang
dalang. Entah apa yang membuat mereka jadi banting peran, "munkin
mereka sudah lelah" kata-kata pemuda zaman sekarang, atau
jangan-jangan.... Ah entahlah aku tak ingin berperasangka kepada mereka, aku
ucapkan terimakasih sajalah untuk para lakon yang sudah mencoba memberikan aksi
terbaik mereka untuk film negeri ini.
Tapi setelah aku pikir-pikir mereka patut diperasangkai, ada apa
dengan mereka?. Seolah-olah laga yang mereka sajikan kini ingin dihapuskan
dengan tangan mereka sendiri, dan memilih tunduk terhadap kepentingan yang jauh
dari alur sekenario perjuangan mereka. Ternyata, lakon-lakon negeri ini
memiliki keteguhan hati yang tak lebih besar dari apa yang dipertontonkan.
Tergoyahkan dengan iklan-iklan kecil ketimbang ending yang bahagia. Itulah
pilihan mereka, berhenti di tengah cerita dengan menggadaikan ending ini untuk
para penjahat yang sudah siap merusak tatanan sekenario, menjadikanya happy
ending versinya.
Aku tarik lagi ucapan terimakasihku, karna mereka yang ku idolakan
kini berubah menjadi penjahat yang tuduk pada penjahat. Merekalah yang dulu
menjadi lakon penentu sebuah akhir, sekarang malah menjadi mainan bak wayang
yang tak berguna tanpa dalang. Dalang itulah penjahat sesungguhnya yaitu
"kepentingan".
"hooooeeeeee" teriakan kerasku mencoba untuk menyadarkan
mereka, mungkin masih tak kedengaran ditelinga para sang wayang, karna melihat
jauhnya jarakku dengan mereka. Seperti keadaanku saat ini yang masih terbungkam
dengan realita yang memberikan kebohongan.
Aku masih asik menonton mereka, terheran-heran dengan yang aku
pandang. "Sekarang mereka menjadi penjilat yang menjilati ludahnya
sendiri" gumamku lirih. Kerjanya hanya mendusta dan memperdaya negerinya
sendiri "inilah yang mengganggu tidurku pagi ini" kataku dalam hati.
Kepentingan seperti itulah yang memperdaya mereka demi meraih kepuasan diri,
sungguh benar-benar busuk kelakuan mereka saat ini, "dasar para tikus
yang datang dari sapiteng" makiku, nafas-nafas mereka membuat udara
ini busuk, langkah kaki mereka mencemari tanah negeri ini.
Lagi-lagi apalah dayaku yang hanya bisa menonton. "oh ya
perkenalkan namaku adalah PEMUDA" satu-satunya orang yang mempunyai
cita-cita besar, namun belum siap jika harus memikul beban negeri ini.
Aku masih di sini, ditempat yang sama saat aku terbangun. Aku tak
sanggup berdiri karna merasa, betapa beratnya harapan orang-orang yang
disandarkan pada pundakku ini. Mereka percaya suatu saat aku akan menjadi
martir yang mampu meledakan negeri ini dan menjadikannya lebih baik. Tapi
mereka lupa bahwa aku di didik dan dibina oleh mereka yang merusak dan menjilat
negeri ini. Aku dicekoki kebohongan-kebohongan atas nama pendidikan, kegiatanku
selalu dibatasi atas dasar hak asasi dan norma-norma, yang sejatinya itu hanyalah
sebuah kedok untuk membungkamku.
"aku harus berontak, berontak dan berontak" nasihatku pada diriku sendiri. "tapi
harus ku mulai dari mana" bingungku menghampiri.
Mulai ku sandarkan punggungku pada papan jemuran, biarkan
cita-cita ini aku gantung sampai tak ada kebingungan lagi dalam diriku,
"entah sampai kapan". Mulutku mulai menguap namun mataku masih
terbelalak menyoroti seluruh penjuru negeri, "para penghianat semakin tak
tahu diri. Matanya sudah buta, telinganya sudah tuli, pikirannya sudah tidak
berfungsi" hanya seperti inilah yang bisa ku lakukan, mencaci maki mereka.
Seharusnya aku bisa berbuat lebih dari ini karna aku sudah banyak makan
teori-teori basi dari materi pelajaran di sekolahan. Tak salah lagi, memang
seperti itulah kenyataannya bahwa pendidikanku berbasis basa-basi. Jangan
pernah berharap tindakanku akan berarti karna saat ini saja pikiranku masih
ruwet dengan hal-hal yang tidak memberikan kemanfaatan.
"Cuma namaku saja pemuda tapi masih bingung mau aku apakan
masa mudaku ini" sambil menengadah ke atas memandang langit yang cerah
penuh dengan guntur berharap mendapatkan pencerahan dari sang maha peduli.
Tindakan apa lagi yang bisa aku lakukan selain pasrah karna memang itulah
pekerjaanku,selalu berkutat dalam kegundahan mata, belum sadar jika diri
sendiri perlu diperbaiki.
Kelebatan bendera hinggap di mataku saat melihat keatas, dia
terlihat kusam dan sebagian ada bekas kebakar, mungkin itu hasil goresan
petir-petir yang terus menyambar, betapa ironis melihat identitas hasil dari
perjuangan para pahlawan, seharusnya ada yang terketuk hatinnya untuk
merawatnya, mungkin sudah tak ada lagi makhluk yang bernama peduli di Negeri
ini, mungkin juga ini sebuah pertanda bahwa negeri ini sudah mulai tua dan
menunggu mati, “Yah memang sudah tua” setua kakekku yang baru meninggal 20
tahun lalu.
Angin sore mulai menyapaku, belum ada keadaan yang berubah dari
pandanganku, “dasar aku yang goblok, seharusnya akulah yang merubah”
sadarku menghampiri “sedangkan aku masih disini, duduk tanpa arti”.
Seharusnya para penghianat sudah mulai mengantuk, tapi justru
sebaliknya. Semakin malam semakin jadi, pastinya ada sebuah kepentingan yang
memberikan keuntungan besar bagi mereka. Mataku tajam mengintai, serasa tak
percaya dengan yang ku lihat ini, ternyata mereka sedang membongkar
peristirahatan para pahlawan yang telah lelah menanami bunga di tanah negeri
ini. “Biadab mereka, seharusnya berterima kasih tapi justru malah mengencingi
bendera mereka sendiri, pantas saja bendera tadi telihat basah, ternyata itu
adalah air kencing mereka”.
Sepertinya mataku sudah lelah dengan alur cerita film negeri ini,
aku yakin tak akan ada lagi bau harum di pagi hari, selama para penghianat
masih menghembuskan nafas dan para pemuda sepertiku masih bisan bangun di pagi
hari. Itu artinya cerita ini tidak akan pernah berakhir. “Selamat malam
Negeriku”.
**
Khusnil Mubarok (Pengurus komisariat, Bidang Pers Propaganda. 2015-2016)
**
Khusnil Mubarok (Pengurus komisariat, Bidang Pers Propaganda. 2015-2016)
0 komentar: