
Musisi kondang asal
Indonesia, Iwan Fals banyak menciptakan karya-karya yang memukau. Kritik lewat
lagunya amat menampar pejabat negara bahkan kita sebagai mahasiswa. Seperti
lirik lagu, berjudul “Dajjal Net” berikut. “Teknologi komunikasi kok jadi nggak
bisa komunikasi// Lha sudah pada tahu semua kan// Orang jadi malas berbicara//
Ketawa ketawa nggak jelas// Sedih-sedih sedih nggak jelas// Marah-marah marah
nggak jelas, nggak jelas// Semua kesedot ke layar itu// Layar peradaban yang
sudah dijanjikan// Seperti Dajal dengan matanya yang satu itu// Semuanya pergi
menuju ke situ//”.
Mahasiswa agen perubahan,
nampaknya predikat tersebut kurang relevan lagi saat ini di sandang oleh
intelektual muda bangsa ini. Pasalnya mahasiwa yang notabene calon generasi
pemimpin bangsa justeru sudah mengalami kemerosotan intelektual, moral, maupun
sosial. Mengendalikan diri sendiri saja tidak bisa, apalagi merubah orang-orang
di sekitarnya? Sebuah pertanyaan yang amat menusuk bagi kita semua, bukan?
Abad 21 teknologi sebagai
penanda identitas modern, telah memberikan pesan positif, yakni memudahkan kita
berkomunikasi dengan siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Komunikasi jarak jauh
lahir dan masuk ke Indonesia. Teknologi berkembang secara bertahap namun cepat
dalam waktu satu setengah dekade ini.
Ironisnya, tradisi
intelektual mahasiswa seperti, membaca, menulis, dan berdiskusi telah redup.
Mereka telah dikuasai dan dikendalikan oleh tekhnologi. Akhirnya, mematikan
nalarnya. Mahasiswa pun sudah alergi akan kegiatan ilmiah. Mereka mudah luntur
dengan datangnya “pacar” baru. Handphone dalam tren 2015 yang super wah sebagai
sarana komunikasi antara telpon dan SMS. Alat komunikasi telah menjadi bagian
budaya hidup bermewah-mewahan.
Seharusnya, mahasiswa banyak
menghabiskan waktu di perpustakaan mencari tambahan materi-materi keilmuan
dengan kajian kepustakaan. Bukan mencari di internet yang kadang diragukan
validasinya. Lebih parah dari itu, mahasiswa malah cuma gemar membaca status di
berbagai media sosial yang sedang bersaing, seperti Facebook, Twitter, BBM,
Instagram, dll. Kegemaran membaca (dan juga menulis) status tidak memberikan
banyak manfaat yang positif bagi diri mereka sendiri. Karena status hanyalah
kebanyakan adalah curahan hati, sikap narsisme, dan hanya sedikit yang berisi
nilai intelektual. Menandakan, kegagalan manusia dalam memanfaatkan sosmed.
Cara-cara instan dan praktis
seperti menggarap makalah, tugas dari dosen dikerjakan asal copi paste dari Mbah
Google. Budaya copy-paste menjalar tak terbendung dalam lingkungan mahasiswa. Wajar,
jika kasus plagiat dikalangan kaum intelektual muda terjadi dimana-mana. Tak
pelak, saat ujian tengah semester atau ujian akhir semester muncul buday
contek-mencontek. Mencontek bukan lagi bekerja sama dengan teman sebelah. Itu
terlalu kuno. Dalam edisi terbaru, pencontekan dilakukan dengan bantuan
internet. Karena dipandang lebih aman, lebih meyakinkan daripada mencontek
teman, dan tanpa mengeluarkan suara, sehingga tidak menggaduhkan suasana ujian.
Kini, ditengah meredupnya budaya
diskusi dan kajian ilmiah penting menggugah kesadaran mereka. Diskusi hanya
bisa diadakan jika ada konsumsinya. Jika kita melihat fenomena yang ada,
diskusi di kampus hanya dilakukan sepekan sekali, itu pun tak menghasilkan.
Mahasiswa tidak pernah mempersiapkan data-data referensi untuk bahan diskusi.
Mereka hanya mengandalkan narasumber atau pemateri. Peserta diskusi hanya
datang dan duduk, bertanya sekedar bumbu diskusi. Argumen-argumen yang
dilontarkan tak ubahnya seperti tong kosong nyaring bunyinya. Debat kusir pun
berkelanjutan.
Alergi Berorganisasi!
Berorganiasi menjadi sarana
paling efektif membangun jati diri. Mahasiswa aktivis bukan cuma mahasiswa yang
masuk dalam organisasi kampus, intra maupun ekstra. Mahasiswa aktivis adalah
mahasiswa yang mewakafkan dirinya untuk orang lain di sekitarnya. Mahasiswa
aktivis yang sebenarnya mempunyai jiwa sosial yang tinggi, membela kepentingan
rakyat, dan mengerti masalah yang dihadap orang lain.
Memang terkadang mahasiswa
model ini dipandang sebelah mata. Mereka lebih sering melakukan kegiatan di
luar kelas daripada di dalam kelas. Mereka bahkan rela absen beberapa tatap muka
dengan dosen demi memperjuangkan hal-hal di atas. Mahasiswa aktivis percontohan
adalah Soe Hok Gie, melakukan demo-demo melawan otoritarian beruntun
pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Semasa hidupnya, Gie juga selalu menentang
pemerintahan dan PKI yang merugikan rakyat. Selain sebagai demonstran, Gie juga
aktif menulis di berbagai media. Bukunya yang terkenal adalah Catatan Seorang
Demonstran.
Jiwa Gie telah mati. Tak ada
mahasiwa yang mampu meneruskan tongkat estafet perjuangannya. Banyak mahasiswa
yang memasuki pergerakan cuma ikut-ikutan dan untuk sok-sokan. Mahasiswa telah
melupakan esensi dari demonstrasi. Demonstrasi tidak lagi dipakai untuk membela
hak rakyat yang dirampas. Demonstrasi hanya digunakan untuk ribut-ributan, membuat
kerusuhan, dan merusak lingkungan.
Kini juga jiwa sosial sudah
mulai tersingkirkan dengan media sosial. Katanya kumpul-kumpul berdiskusi
ilmiah, ternyata mereka malah sibuk dengan gadget masing-masing. Teknologi
benar-benar mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat. Jenis mahasiswa
yang terakhir adalah mahasiswa hedonis. Mahasiswa hedonis sebenarnya bukanlah
mahasiswa. Karena kerjanya cuma hura-hura dan foya-foya. Kebebasan dijadikan
sebagai alasan untuk melakukan aktivitas yang tidak bermanfaat, bahkan
merugikan. Sifat konsumerisme dan pelampiasan nafsu yang berlebihan membuat
mahasiswa macam ini tidak memikirkan kondisi ekonomi keluarga.
Teknologi memiliki peran
yang super dalam mengubah itu semua. Teknologi membuat mahasiswa tertidur dalam
buaiannya. Mahasiswa tidak seperti siswa. Mahasiswa diberi keleluasaan dalam
bergerak karena mereka sudah dianggap dewasa. Akan tetapi keleluasaan itu malah
disalahgunakan dan akhirnya membuat mereka melewati pembatas moralitas yang
dari dulu diajarkan oleh guru-guru di sekolah dasar dan menengah.
Ini merupakan sebuah dilema.
Indonesia belum siap untuk menerima teknologi dengan segala kecanggihannya.
Selain banyak sekali madlorot-nya dalam bidang pendidikan, banyak pula madlorot
di bidang ekonomi, seperti penipuan dalam jual beli online. Namun jika
Indonesia menyetop distribusi handphone dan pemutusan internet, tentu akan
membuat Indonesia menjadi negara yang katrok. Kita tidak mungkin menutup mata
untuk menghadapi persaingan baru di kancah Internasional yang serba maya.
**
Abdul Wajid Mawarzi
(Ketua Rayon Yusuf Hasyim 2014-2015)
0 komentar: