12 November 2015

Suramnya Wajah Intelektual Mahasiswa



Musisi kondang asal Indonesia, Iwan Fals banyak menciptakan karya-karya yang memukau. Kritik lewat lagunya amat menampar pejabat negara bahkan kita sebagai mahasiswa. Seperti lirik lagu, berjudul “Dajjal Net” berikut. “Teknologi komunikasi kok jadi nggak bisa komunikasi// Lha sudah pada tahu semua kan// Orang jadi malas berbicara// Ketawa ketawa nggak jelas// Sedih-sedih sedih nggak jelas// Marah-marah marah nggak jelas, nggak jelas// Semua kesedot ke layar itu// Layar peradaban yang sudah dijanjikan// Seperti Dajal dengan matanya yang satu itu// Semuanya pergi menuju ke situ//”.

Mahasiswa agen perubahan, nampaknya predikat tersebut kurang relevan lagi saat ini di sandang oleh intelektual muda bangsa ini. Pasalnya mahasiwa yang notabene calon generasi pemimpin bangsa justeru sudah mengalami kemerosotan intelektual, moral, maupun sosial. Mengendalikan diri sendiri saja tidak bisa, apalagi merubah orang-orang di sekitarnya? Sebuah pertanyaan yang amat menusuk bagi kita semua, bukan?

Abad 21 teknologi sebagai penanda identitas modern, telah memberikan pesan positif, yakni memudahkan kita berkomunikasi dengan siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Komunikasi jarak jauh lahir dan masuk ke Indonesia. Teknologi berkembang secara bertahap namun cepat dalam waktu satu setengah dekade ini.

Ironisnya, tradisi intelektual mahasiswa seperti, membaca, menulis, dan berdiskusi telah redup. Mereka telah dikuasai dan dikendalikan oleh tekhnologi. Akhirnya, mematikan nalarnya. Mahasiswa pun sudah alergi akan kegiatan ilmiah. Mereka mudah luntur dengan datangnya “pacar” baru. Handphone dalam tren 2015 yang super wah sebagai sarana komunikasi antara telpon dan SMS. Alat komunikasi telah menjadi bagian budaya hidup bermewah-mewahan.

Seharusnya, mahasiswa banyak menghabiskan waktu di perpustakaan mencari tambahan materi-materi keilmuan dengan kajian kepustakaan. Bukan mencari di internet yang kadang diragukan validasinya. Lebih parah dari itu, mahasiswa malah cuma gemar membaca status di berbagai media sosial yang sedang bersaing, seperti Facebook, Twitter, BBM, Instagram, dll. Kegemaran membaca (dan juga menulis) status tidak memberikan banyak manfaat yang positif bagi diri mereka sendiri. Karena status hanyalah kebanyakan adalah curahan hati, sikap narsisme, dan hanya sedikit yang berisi nilai intelektual. Menandakan, kegagalan manusia dalam memanfaatkan sosmed.

Cara-cara instan dan praktis seperti menggarap makalah, tugas dari dosen dikerjakan asal copi paste dari Mbah Google. Budaya copy-paste menjalar tak terbendung dalam lingkungan mahasiswa. Wajar, jika kasus plagiat dikalangan kaum intelektual muda terjadi dimana-mana. Tak pelak, saat ujian tengah semester atau ujian akhir semester muncul buday contek-mencontek. Mencontek bukan lagi bekerja sama dengan teman sebelah. Itu terlalu kuno. Dalam edisi terbaru, pencontekan dilakukan dengan bantuan internet. Karena dipandang lebih aman, lebih meyakinkan daripada mencontek teman, dan tanpa mengeluarkan suara, sehingga tidak menggaduhkan suasana ujian.

Kini, ditengah meredupnya budaya diskusi dan kajian ilmiah penting menggugah kesadaran mereka. Diskusi hanya bisa diadakan jika ada konsumsinya. Jika kita melihat fenomena yang ada, diskusi di kampus hanya dilakukan sepekan sekali, itu pun tak menghasilkan. Mahasiswa tidak pernah mempersiapkan data-data referensi untuk bahan diskusi. Mereka hanya mengandalkan narasumber atau pemateri. Peserta diskusi hanya datang dan duduk, bertanya sekedar bumbu diskusi. Argumen-argumen yang dilontarkan tak ubahnya seperti tong kosong nyaring bunyinya. Debat kusir pun berkelanjutan.

Alergi Berorganisasi!

Berorganiasi menjadi sarana paling efektif membangun jati diri. Mahasiswa aktivis bukan cuma mahasiswa yang masuk dalam organisasi kampus, intra maupun ekstra. Mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang mewakafkan dirinya untuk orang lain di sekitarnya. Mahasiswa aktivis yang sebenarnya mempunyai jiwa sosial yang tinggi, membela kepentingan rakyat, dan mengerti masalah yang dihadap orang lain.

Memang terkadang mahasiswa model ini dipandang sebelah mata. Mereka lebih sering melakukan kegiatan di luar kelas daripada di dalam kelas. Mereka bahkan rela absen beberapa tatap muka dengan dosen demi memperjuangkan hal-hal di atas. Mahasiswa aktivis percontohan adalah Soe Hok Gie, melakukan demo-demo melawan otoritarian beruntun pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Semasa hidupnya, Gie juga selalu menentang pemerintahan dan PKI yang merugikan rakyat. Selain sebagai demonstran, Gie juga aktif menulis di berbagai media. Bukunya yang terkenal adalah Catatan Seorang Demonstran.

Jiwa Gie telah mati. Tak ada mahasiwa yang mampu meneruskan tongkat estafet perjuangannya. Banyak mahasiswa yang memasuki pergerakan cuma ikut-ikutan dan untuk sok-sokan. Mahasiswa telah melupakan esensi dari demonstrasi. Demonstrasi tidak lagi dipakai untuk membela hak rakyat yang dirampas. Demonstrasi hanya digunakan untuk ribut-ributan, membuat kerusuhan, dan merusak lingkungan.

Kini juga jiwa sosial sudah mulai tersingkirkan dengan media sosial. Katanya kumpul-kumpul berdiskusi ilmiah, ternyata mereka malah sibuk dengan gadget masing-masing. Teknologi benar-benar mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat. Jenis mahasiswa yang terakhir adalah mahasiswa hedonis. Mahasiswa hedonis sebenarnya bukanlah mahasiswa. Karena kerjanya cuma hura-hura dan foya-foya. Kebebasan dijadikan sebagai alasan untuk melakukan aktivitas yang tidak bermanfaat, bahkan merugikan. Sifat konsumerisme dan pelampiasan nafsu yang berlebihan membuat mahasiswa macam ini tidak memikirkan kondisi ekonomi keluarga.

Teknologi memiliki peran yang super dalam mengubah itu semua. Teknologi membuat mahasiswa tertidur dalam buaiannya. Mahasiswa tidak seperti siswa. Mahasiswa diberi keleluasaan dalam bergerak karena mereka sudah dianggap dewasa. Akan tetapi keleluasaan itu malah disalahgunakan dan akhirnya membuat mereka melewati pembatas moralitas yang dari dulu diajarkan oleh guru-guru di sekolah dasar dan menengah.
Ini merupakan sebuah dilema. Indonesia belum siap untuk menerima teknologi dengan segala kecanggihannya. Selain banyak sekali madlorot-nya dalam bidang pendidikan, banyak pula madlorot di bidang ekonomi, seperti penipuan dalam jual beli online. Namun jika Indonesia menyetop distribusi handphone dan pemutusan internet, tentu akan membuat Indonesia menjadi negara yang katrok. Kita tidak mungkin menutup mata untuk menghadapi persaingan baru di kancah Internasional yang serba maya.


**
Abdul Wajid Mawarzi (Ketua Rayon Yusuf Hasyim 2014-2015)

Related Posts

0 komentar: