04 April 2016

Resensi Buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah

Islam datang di nusantara sejak abad ke 7 M di bawa oleh para mubalig dari Negara arab . hal ini seperti yang di katakan Hamka bahwa peranan bangsa arab dalam menyebarkan islam di nusanatra khususnya Indonesia lebih dominan di banding gujarat. Gujarat hanya merupakan tempat singgah semata , sedangakan makkah dan mesir merupakan pusat dari penyebaran islam. Hal ini senada dengan apa yang di kemukakan oleh keijzer yang memandang bahwa ada kesamaan budaya di kedua wilayah yang mana sama berpegang pada madhab syafi'i.

Akan tetapi menurut mayoritas sejarawan, islam datang ke Indonesia di bawa oleh mubalig sekaligus pedagang dari hadramaut (yaman selatan). Sebagai mana yang di kemukakan oleh Nieman dan De Hollander , keduanya mengatakan bahwa bukan mesir sebagai sumber Islam di nusantara melainkan hadramaut atau yaaman selatan yang menjadi sumber islam. para mubalig dari hadramautlah yang banyak mengislamkan masyarakat muslim di nusantara ini. Orang orang pribumi menyebut mereka dengan syarif atau sayid, karena kebanyakan mereka yang menyebarkan islam di Nusantra ini masih keturunan baginda Rasullah saw.

Penyebaran islam yang di bawa oleh para sayid tersebut seiring berjalanya waktu terus berkembang dan semakin luas sehingga sampai pada masa walisongo. Dengan ramah, toleran dan penuh kasih sayang, islam banyak di terima oleh banyak kalangan mulai dari bangsawan sampai rakyat jelata.

Sepeninggal walisongo Penyebran islam tersebut terus di lakukan oleh para ulama, mubalig, dai dan cendekiawan atau orang jawa sering menyebutnya kiai. Peranan kiai dalam menyebarkan dan menegakan agama islam di bumi Indonesia ini sangat besar. Banyak dari mereka yang mendirikan surau, masjid dan majlis ta'lim atau pondok pesantren sebagai media dakwah dan penguatan ajaran ajaran agama islam. Kiai sendiri dalam memperjuangkan agama islam dan menguatkanya banyak jalan atau cara yang di tempuh. Mulai dari mengajar di pesantren, berceramah dari satu tempat ke tempat yang lain, menulis lewat media cetak ataupun online dan ikut campur dalam dunia politik. Ada juga kiai yang memilih berda'wah secara sembunyi dan ikhlas sehingga tidak mau di ekspos ataupun di liput oleh media, atau dalam istilah pesantren kiai seperti ini disebut kiai lillahi ta'ala, kiai kiai seperti sering kita jumpai di pondok pesantren yang masih bernuansa salaf.

Kiai yang mempunyai wibawa dan kharisma yang tinggi biasanya agak nyeleneh atau dalam istilah lain disebut nyentrik seperti yang di gambarkan oleh penulis buku ini orangnya peramah, tetapi lucu, raut wajahnya sepenuhnya membayangkan ke kiai'' an yang sudah mengalami akulturasi dengan dunia luar. Gaya bicaranya juga ada dua macam, di hadapan orang luar beliau sedikit berbicara dan lebih banyak meladeni, tetapi di tengah rakyatnya sendiri, ia memakai gaya pengajian seratus persen.

Buku kiai nyentrik membela pemerintah ini mencoba mengungkap keberadaan kiai dalam memperjuangkan agama islam serta mengisi kemerdekaan Negara ini yang sudah merdeka lebih dari setengah abad. Seperti halnya yang di lakukan kiai Muchit Muzadi yang ada dalam buku ini. "Pada masa menghebatnya aksi sepihak PKI di lancarkan, beliau harus ribut dengan kiai kiai lain yang menentang UUAP dan UUPBH. Para kiai itu memakai argumentasi bahwa tidak ada pembatasan hak milik pribadi dalam syafi'i, Tetapi kiai muchit menyelamatkan diri secara politis dengan pertanyaan: walaupun tidak ada pembatasan seperti itu bukankah ada larangan memperoleh hak milik secara tidak halal.

Pada waktu itu beliau di kecam dan di damprat kanan kiri sampai sampai beliau mendapat predikat nyentrik. Buku ini memberikan wawasan tentang perjuangan para kiai dalam pesantren, masyarakat, pemerintahan sampai dunia luar ,yang mana kiai selalu andil berjuang untuk umatnya dalam segala kondisi. Dan tidak kalah penting buku ini di tulis oleh KH abdurahman wahid (gus dur) yang mana sudah tidak asing lagi bagi kita tentang ke nyentrikanya. Beliau juga seorang kiai , intelektual , politikus dan mantan presiden.

Buku ini sangat cocok sekali di baca untuk semua golongan, karena isinya selain menceritakan perjuangan seorang kiai juga untuk motivasi bagi kalangan pemuda khsusnya santri agar semangat untuk berjuang dalam menegakan kebenaran dan perdamaian.

**
Muhammad Irkham, (Rayon Yusuf Hasyim, Semester VI)

27 Desember 2015

Belajar Menulis dari Mantan Pemburu Kodok

Pepatah mengatakan, “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan”. Setiawan G. Sasongko menolak keras penyataan Pameo bahwa kesuksesan seseorang ditentukan oleh bakat. Menurutnya dalam buku Dalan Sugih ini, pernyataan itu sangat menyesatkan. Justeru bakat hanya berpengaruh 5%, dan 95% adalah kemauan.
Selain sebagai penulis, Setiawan G. Sasongko adalah seorang ilustrator, kartunis, dan konsultan penulisan biografi atau otobiografi. Sampai-sampai, dia menyebut dirinya ahli biografi. Sebagai seorang alumnus jurusan filsafat yang tugasnya cuma mikir, dulu dia mempunyai cita-cita tinggi untuk menjadi penulis.
Setiawan bahkan memberikan statemen bahwa penulisan dibutuhkan oleh semua bidang, tidak hanya untuk wartawan dan penulis saja. Semisal ada dokter yang mempunyai pengalaman menarik selama praktik dan sangat penting untuk diketahui masyarakat, maka hal itu perlu dituliskan. Bila tidak mempunyai keterampilan dalam menulis, dokter itu perlu membayar orang untuk menuliskan pengalamannya. Keterampilan menulis memang dibutuhkan oleh siapapun.
Di awal buku, Setiawan menceritakan secara panjang lebar kisah bangun tidurnya dalam hal kepenulisan. Mulai dari terinspirasinya dia oleh bapaknya yang bisa menulis di udara, cerita mendapat mesin ketik, patah hati dengan Kompas, sampai menjadi penerbit.
Buku ini tergolong lengkap. Bahasannya merambah sampai penulisan berita, cerpen, puisi, novel, drama panggung, skenario drama radio, skenario film, resensi, wawancara, catatan perjalanan, sampai pembuatan proposal. Setiawan selalu memberikan contoh di setiap jenis tulisan itu, tentunya dengan karyanya sendiri. Penulis mengulas tulisannya sendiri di belakang contoh, kadang juga di belakang tiap paragraf.
Setiawan tidak menyuguhkan banyak teori kepenulisan di dalam buku ini. Bahkan, aturan-aturan bahasa cuma disinggung kurang dari 5 halaman. Ia lebih menunjukkan kepada pembaca trik langka untuk membuat tulisan yang berkualitas. Terlepas dari diterima di media atau penerbit atau tidak.
Kajiannya yang umum membuat buku ini kurang komprehensif. Karena itulah mengapa dokter spesialis lebih tinggi derajatnya dibanding dokter umum. Dokter spesialis lebih tahu mendetail tentang suatu bidang ilmu, sedangkan dokter umum tahu semua bidang ilmu tetapi tidak mendetail. Buku ini tentu kalah jika dibanding buku semacam cara jitu menulis cerpen yang secara khusus membahas cerpen sampai ke akar-akarnya.
Dilihat dari judulnya saja, buku ini sudah mencerminkan ruh kejawaan penulisnya. Jika Anda membaca setiap contoh karyanya, kebanyakan mengandung khazanah Jawa, termasuk mistik. Anda juga bisa merasakan suasana desa yang dialami oleh penulis pribadi. Desa yang penuh dengan sawah, yang zaman dahulu penulis sering mencari kodok di sana. Kalau begitu benar, mantan pemburu kodok juga bisa jadi penulis.(abd)
Judul Buku  : Dalan Sugih: Trik Jadi Penulis-Pengarang-Penerbit
Pengarang    : Setiawan G. Sasongko
Cetakan    : Desember 2012
Halaman    : vi + 290
Penerbit    : Pustaka Wasilah
Resentator    : Hilmi Abedillah