Membaca tulisan sahabat Adam yang
berjudul “Merjaut Ulang Solidaritas”, saya
memberi kesimpulan seperti ini. Sahabat Adam, selaku kader terbaik di masanya,
yang tentunya memiliki kepedulian penuh terhadap organisasi PMII Hasyim
Asy’ari, berharap agar sahabat-sahabat yang masih aktif berproses di organisasi
mampu belajar dari sejarah awal kebangkitan Nasional di awal abad 20. Dia
mengambil salah satu roh yang menyebabkan efektifnya suatu ruang gerak
organisasi, yaitu Solidaritas.
Saya rasa solidaritas bukanlah
kosa kata asing bagi warga pergerakan. Hampir di setiap agenda kegiatan, para
pemimpin organisasi PMII di tingkatannya masing-masing selalu menyerukan arti
penting solidaritas kepada anggotanya dengan salah satu adagium yang paling
trending: Sekali bendera dikibarkan, hentikan ratapan dan tangisan,
maju adalah kewajiban, mundur satu langkah adalah suatu bentuk penghianatan.
Ketika berbicara solidaritas,
maka bisa dikatakan ia adalah dampak dari suatu sebab. Solidaritas tidak begitu
saja muncul mak bedunduk. Solidaritas bukan pula seperti tahu
bulat, yang bisa dinikmati dengan proses penggorengan dadakan. Bahkan ia tak
sesederhana bersin, yang bahkan harus terlebih dahulu di awali dengan ekspresi
sange muka seseorang karena harus mangap-mangap sambil
memejamkan mata secara berulang-ulang.
Maka ketika sahabat Adam
menjelaskan solidaritas adalah kunci dari munculnya gerakan-gerakan pencerahan
awal kemerdekaan Indonesia, maka pastilah ada “sebab” yang membuat makhluk yang
bernama solidaritas ini muncul dari masing-masing individu masyarakat pribumi.
Apalagi kondisi negara (Hindia
Belanda) pada saat itu berbeda jauh dari keadaan negara (Indonesia) dewasa ini.
Di zaman masa kecilnya kakeknya kakek saya dan sahabat-sahabat seumurannya
dulu, untuk berkomunikasi dengan pejabat Residen atau Bupati saja harus duduk
lebih rendah dengan menggunakan bahasa baku dan benar. Sementara beberapa bulan
yang lalu, seorang anak SD sudah bisa mengucapkan nama jenis alat kelamin (yang
mirip dengan nama ikan laut itu) di depan orang nomor satu Indonesia, dengan
tanpa rasa bersalah dan diucapkan sambil ‘geguyon’. Artinya, kebebasan
mengekspresikan diri pada saat itu sangatlah mustahil dilakukan oleh masyarakat
pribumi secara aplikatif dengan mendirikan dan menjadi anggota suatu organisasi
di bawah represi pemerintahan Residen, Bupati, dan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda.
Solidaritas ibarat benang di
dalam rajutan pakaian yang sobek. Pakain yang sobek adalah perumpamaan
bangsa-bangsa di masa pemerintahan Hindia Belanda. Untuk merekatkan kembali
sobekan pakaian (bangsa yang terpecah belah), dibutuhkanlah benang
(solidaritas) agar pakaian tersebut bisa kembali tertutup rapat dan bisa
menjadi pakaian yang utuh (Indonesia).
Sementara alat atau perantara
agar benang tersebut mampu menjalankan fungsinya sebagai perekat (bahasa yang
dipakai sahabat Adam adalah rajut; merajut) kain yang sobek dibutuhkan yang
namanya “jarum”. Tanpa adanya jarum tersebut, solidaritas yang saya umpamakan
benang tadi pasti fungsinya tidak akan berguna untuk merekatkan (merajut) kain
yang sobek.
Nah, seperti apakah “jarum” yang
dimaksud agar solidaritas (yang diumpakan benang) bisa berfungsi sebagai
perajut bangsa-bangsa yang terpecah belah, yang diibaratkan dengan benang sobek
tadi?
Media sebagai jarum sulam solidaritas
Adalah seorang Tirto Adhi Soerjo,
pendiri sekaligus redaktur media berkala yang diberi nama Medan Prijaji,
terbit tahun 1907 dan berakhir lima tahun setelahnya. Medan Prijaji adalah
satu-satunya media cetak milik pribumi yang dikelola dan diperuntukan oleh
pribumi dengan salah satu rubrik yang membahas tentang ilmu politik, suatu
proses pencerdasan oleh Tirto Adhi Soerjo kepada masyarakat pribumi agar muncul
kesadaran berdaulat atas tanah air pertiwi.
Empat tahun sebelumnya, tepatnya
Februari 1904, terbit media berkala Soenda Berita yang juga
diredakturi oleh Tirto sendiri. Hanya saja Soenda Berita sebatas memuat rubrik
tentang pengetahuan yang tak berimbas pada kesadaran berpolitik, seperti
pengetahuan tentang kesehatan, kedokteran, bakteorologi, hukum agama Islam,
pewayangan, dan tata pengadilan pengajaran.
Tirto Adhi Soerjo juga ikut
berpartisipasi dalam gerakan emansipasi wanita dengan menerbitkan Poetri
Hindia, 1 Juli 1908. Beberapa nama perempuan yang ikut menjadi tim redaktur
Poetri Hindia adalah Raden Ajoe Siti Habiba (istri pertama Tirto), Prinses
Fatimah (istri kedua Tirto), R.A.S Tirtokoesoemo (istri Presiden Budi Oetomo),
R.A Pringgowinoto (istri Patih Rembang yang kemudian diangkat menjadi Bupati
Tuban), dan R.A Tirtoadiwinoto (ipar Tirto Adhi Soerjo).
Namun sayang, Poetri Hindia harus
berhenti terbit untuk selama-lamanya di tahun 1912, seiring matinya Medan
Prijaji. Dengan wafatnya Poetri Hindia, tidak sekaligus mematikan ruang gerak
ekspresi bagi para perempuan pribumi. Terbukti di tahun 1913, terbit Wanito
Sworo di Brebes yang dipimpin oleh R.A Siti Soendari, yang memulai
karirnya sebagai penulis di Poetri Hindia. Kemudian pada 1914 terbit Poetri
Mardika di Betawi yang namanya diambil dari gabungan antara Poetri Hindia
dengan Kaum Mardika, yang kemudian pada tahun 1915 diambil alih Budi Oetomo.
Sampai dari sini, analisis
historis muncul ketika sahabat Adam menyebutkan organisasi Boedi Oetomo (1908)
sebagai organisasi pertama milik pribumi yang menurutnya di prakarsai oleh
kalangan pemuda pada saat itu. Bahwa terdapat peristiwa penting yang menjadi
sebab (yang saya analogikan sebagai “jarum”) tumbuhnya solidaritas masyarakat
pribumi untuk bersatu melalui perantara organisasi, yakni di kisaran tahun
1900-1908.
Menurut saya, tidak akan mungkin
muncul Budi Utomo (1908), Sarekat Dagang Islam (1909), dan beberapa organisasi
pribumi lain setelahnya tanpa adanya “jarum” Media yang naman-namanya
disebutkan di atas. Kesadaran untuk merdeka dari segala bentuk penindasan
penjajah Belanda secara perlahan muncul lewat sebaran “virus” pemikiran melalui
perantara teks Soenda Berita, Medan Prijaij, Poetri Hindia, yang kesemuanya
didirikan oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.
Ada istilah di dalam Ilmu
Komunikasi yang bisa menjelaskan proses “mempengaruhi” dari media massa kepada
audiens, yakni Bullet Theory atau yang lebih akrab disebut dengan teori jarum
suntik. Menurut teori ini, terdapat stimulus respon di dalam “pesan” media
massa, yang mampu membangkitkan desakan, emosi atau proses lain yang hampir
tidak terkontrol oleh individu (audiens).
Media massa yang didirikan oleh
Tirto tak ubahnya seperti jarum suntik yang mampu membius masyarakat pribumi
untuk sadar dan pada akhirnya mampu membangkitkan rasa memiliki (pengertian
dasar Solodaritas) terhadap tanah air pertiwi yang kepemilikannya telah direbut
oleh Belanda selama ratusan tahun.
Lantas, jika jarum sulam
solidaritas (Media) sudah ditemukan pada masa awal kebangkitan nasional, apakah
hari ini, di zaman yang segala laku gerak kehidupan bergantung penuh pada
media, kita selaku warga pergerakan mampu memanfaatkannya dengan menjadi
“penyulam” solidaritas yang baik dan berdampak pada terwujudnya pribadi muslim
Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, cakap, dan bertanggung
jawab dalam mengamalkan ilmunya, dan komitmen memperjuangkan cita-cita
kemerdekaan Indonesia?
Semoga tulisan ini ada membalas...
Wallahu al muwaaffieq ilaa aqwamitthariq
Rivai Moehamed, anggota biasa yang bertempat tinggal di
rivaimoehamed.wordpress.com
Referensi:
Toer, Pramodya Ananta. Sang
Pemula, Hasta Mitra, 1985
www.wikipedia.id.org
www.academia.edu
0 komentar: