08 Juni 2017

Mencari Jarum Sulam Solidaritas; Komentar Dialektif Atas Tulisan Sahabat Adam FH

Membaca tulisan sahabat Adam yang berjudul “Merjaut Ulang Solidaritas”, saya memberi kesimpulan seperti ini. Sahabat Adam, selaku kader terbaik di masanya, yang tentunya memiliki kepedulian penuh terhadap organisasi PMII Hasyim Asy’ari, berharap agar sahabat-sahabat yang masih aktif berproses di organisasi mampu belajar dari sejarah awal kebangkitan Nasional di awal abad 20. Dia mengambil salah satu roh yang menyebabkan efektifnya suatu ruang gerak organisasi, yaitu Solidaritas.
Saya rasa solidaritas bukanlah kosa kata asing bagi warga pergerakan. Hampir di setiap agenda kegiatan, para pemimpin organisasi PMII di tingkatannya masing-masing selalu menyerukan arti penting solidaritas kepada anggotanya dengan salah satu adagium yang paling trending: Sekali bendera dikibarkan, hentikan ratapan dan tangisan, maju adalah kewajiban, mundur satu langkah adalah suatu bentuk penghianatan.
Ketika berbicara solidaritas, maka bisa dikatakan ia adalah dampak dari suatu sebab. Solidaritas tidak begitu saja muncul mak bedunduk. Solidaritas bukan pula seperti tahu bulat, yang bisa dinikmati dengan proses penggorengan dadakan. Bahkan ia tak sesederhana bersin, yang bahkan harus terlebih dahulu di awali dengan ekspresi sange muka seseorang karena harus mangap-mangap sambil memejamkan mata secara berulang-ulang.
Maka ketika sahabat Adam menjelaskan solidaritas adalah kunci dari munculnya gerakan-gerakan pencerahan awal kemerdekaan Indonesia, maka pastilah ada “sebab” yang membuat makhluk yang bernama solidaritas ini muncul dari masing-masing individu masyarakat pribumi. 
Apalagi kondisi negara (Hindia Belanda) pada saat itu berbeda jauh dari keadaan negara (Indonesia) dewasa ini. Di zaman masa kecilnya kakeknya kakek saya dan sahabat-sahabat seumurannya dulu, untuk berkomunikasi dengan pejabat Residen atau Bupati saja harus duduk lebih rendah dengan menggunakan bahasa baku dan benar. Sementara beberapa bulan yang lalu, seorang anak SD sudah bisa mengucapkan nama jenis alat kelamin (yang mirip dengan nama ikan laut itu) di depan orang nomor satu Indonesia, dengan tanpa rasa bersalah dan diucapkan sambil ‘geguyon’. Artinya, kebebasan mengekspresikan diri pada saat itu sangatlah mustahil dilakukan oleh masyarakat pribumi secara aplikatif dengan mendirikan dan menjadi anggota suatu organisasi di bawah represi pemerintahan Residen, Bupati, dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Solidaritas ibarat benang di dalam rajutan pakaian yang sobek. Pakain yang sobek adalah perumpamaan bangsa-bangsa di masa pemerintahan Hindia Belanda. Untuk merekatkan kembali sobekan pakaian (bangsa yang terpecah belah), dibutuhkanlah benang (solidaritas) agar pakaian tersebut bisa kembali tertutup rapat dan bisa menjadi pakaian yang utuh (Indonesia). 
Sementara alat atau perantara agar benang tersebut mampu menjalankan fungsinya sebagai perekat (bahasa yang dipakai sahabat Adam adalah rajut; merajut) kain yang sobek dibutuhkan yang namanya “jarum”. Tanpa adanya jarum tersebut, solidaritas yang saya umpamakan benang tadi pasti fungsinya tidak akan berguna untuk merekatkan (merajut) kain yang sobek.
Nah, seperti apakah “jarum” yang dimaksud agar solidaritas (yang diumpakan benang) bisa berfungsi sebagai perajut bangsa-bangsa yang terpecah belah, yang diibaratkan dengan benang sobek tadi?
Media sebagai jarum sulam solidaritas
Adalah seorang Tirto Adhi Soerjo, pendiri sekaligus redaktur media berkala yang diberi nama Medan Prijaji, terbit tahun 1907 dan berakhir lima tahun setelahnya. Medan Prijaji adalah satu-satunya media cetak milik pribumi yang dikelola dan diperuntukan oleh pribumi dengan salah satu rubrik yang membahas tentang ilmu politik, suatu proses pencerdasan oleh Tirto Adhi Soerjo kepada masyarakat pribumi agar muncul kesadaran berdaulat atas tanah air pertiwi. 
Empat tahun sebelumnya, tepatnya Februari 1904, terbit media berkala Soenda Berita yang juga diredakturi oleh Tirto sendiri. Hanya saja Soenda Berita sebatas memuat rubrik tentang pengetahuan yang tak berimbas pada kesadaran berpolitik, seperti pengetahuan tentang kesehatan, kedokteran, bakteorologi, hukum agama Islam, pewayangan, dan tata pengadilan pengajaran.
Tirto Adhi Soerjo juga ikut berpartisipasi dalam gerakan emansipasi wanita dengan menerbitkan Poetri Hindia, 1 Juli 1908. Beberapa nama perempuan yang ikut menjadi tim redaktur Poetri Hindia adalah Raden Ajoe Siti Habiba (istri pertama Tirto), Prinses Fatimah (istri kedua Tirto), R.A.S Tirtokoesoemo (istri Presiden Budi Oetomo), R.A Pringgowinoto (istri Patih Rembang yang kemudian diangkat menjadi Bupati Tuban), dan R.A Tirtoadiwinoto (ipar Tirto Adhi Soerjo). 
Namun sayang, Poetri Hindia harus berhenti terbit untuk selama-lamanya di tahun 1912, seiring matinya Medan Prijaji. Dengan wafatnya Poetri Hindia, tidak sekaligus mematikan ruang gerak ekspresi bagi para perempuan pribumi. Terbukti di tahun 1913, terbit Wanito Sworo di Brebes yang dipimpin oleh R.A Siti Soendari, yang memulai karirnya sebagai penulis di Poetri Hindia. Kemudian pada 1914 terbit Poetri Mardika di Betawi yang namanya diambil dari gabungan antara Poetri Hindia dengan Kaum Mardika, yang kemudian pada tahun 1915 diambil alih Budi Oetomo.
Sampai dari sini, analisis historis muncul ketika sahabat Adam menyebutkan organisasi Boedi Oetomo (1908) sebagai organisasi pertama milik pribumi yang menurutnya di prakarsai oleh kalangan pemuda pada saat itu. Bahwa terdapat peristiwa penting yang menjadi sebab (yang saya analogikan sebagai “jarum”) tumbuhnya solidaritas masyarakat pribumi untuk bersatu melalui perantara organisasi, yakni di kisaran tahun 1900-1908. 
Menurut saya, tidak akan mungkin muncul Budi Utomo (1908), Sarekat Dagang Islam (1909), dan beberapa organisasi pribumi lain setelahnya tanpa adanya “jarum” Media yang naman-namanya disebutkan di atas. Kesadaran untuk merdeka dari segala bentuk  penindasan penjajah Belanda secara perlahan muncul lewat sebaran “virus” pemikiran melalui perantara teks Soenda Berita, Medan Prijaij, Poetri Hindia, yang kesemuanya didirikan oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.
Ada istilah di dalam Ilmu Komunikasi yang bisa menjelaskan proses “mempengaruhi” dari media massa kepada audiens, yakni Bullet Theory atau yang lebih akrab disebut dengan teori jarum suntik. Menurut teori ini, terdapat stimulus respon di dalam “pesan” media massa, yang mampu membangkitkan desakan, emosi atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh individu (audiens). 
Media massa yang didirikan oleh Tirto tak ubahnya seperti jarum suntik yang mampu membius masyarakat pribumi untuk sadar dan pada akhirnya mampu membangkitkan rasa memiliki (pengertian dasar Solodaritas) terhadap tanah air pertiwi yang kepemilikannya telah direbut oleh Belanda selama ratusan tahun.
Lantas, jika jarum sulam solidaritas (Media) sudah ditemukan pada masa awal kebangkitan nasional, apakah hari ini, di zaman yang segala laku gerak kehidupan bergantung penuh pada media, kita selaku warga pergerakan mampu memanfaatkannya dengan menjadi “penyulam” solidaritas yang baik dan berdampak pada terwujudnya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, cakap, dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya, dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia?
Semoga tulisan ini ada membalas...
Wallahu al muwaaffieq ilaa aqwamitthariq
Rivai Moehamed, anggota biasa yang bertempat tinggal di rivaimoehamed.wordpress.com

Referensi:
Toer, Pramodya Ananta. Sang Pemula, Hasta Mitra, 1985
www.wikipedia.id.org
www.academia.edu


Related Posts

0 komentar: