Organisatoris begitulah
sebutan khas untuk seseorang yang bergelut atau yang terlibat dalam suatu
organisasi yang diikutinya, baik organisasi yang berlatar belakang intra kampus
atau ekstra kampus. Secara garis besarnya organisatoris adalah mahasiswa yang
mengorbankan tenaga, pikiran dan waktu demi tercapainya visi misi organisasi
yang luhur.
Mahasiswa organisatoris
berkeyakinan seperti apa yang sudah dipaparkan sahabat Abdul Wajid dalam
tulisannya “Suramnya Wajah Intelektual Mahasiswa”, bahwa
organisasi merupakan salah satu wadah atau sarana berproses untuk membangun
jati diri setiap individu. Sebab dalam dunia kampus metode
belajar sudah jauh berbeda dengan cara belajar semasa SMA. Diwaktu SMA materi
pembelajaran 100% dari guru, sedangkan dalam dunia kampus
25 % dari dosen, 75 %-nya dari mahasiswa sendiri. Kira-kira seperti itu
propaganda yang disampaikan para senior disaat saya baru menginjak dalam dunia
kampus, dan itu benar adanya. Dari itulah berkesimpulan bahwa organisasi
merupakan tangga menuju 75 %.
Dalam buku panduan organisasi
warga Pergerakan Islam Indonesi (PMII) dijelaskan, pengkaderan dalam PMII tidak
hanya semata-mata meningkatkan anggota atau kader terdidik secara intelektual,
berwawasan, dan terampil secara teknik, pengkaderan dalam PMII dibekali atau
mengingatkan anggota dan kader untuk mengabdikan pengetahuan dan keterampilan
tersebut bagi kolektivas, bukan diabdikan bagi kebesaran dan kejayaan individu.
Disamping itu warga PMII juga dituntut untuk peka dan responsif terhadap
problematika sosial masyarakat.
Hal ini berkesinambungan dengan apa yang sudah
termaktub dalam Tri Darma Perguruan tinggi, yakni Pendidikan, penelitian dan
pengabdian masyarakat. artinya baik di buku pedoman pengkaderan dan juga Tri
Darma Perguruan tinggi, disamping meningkatkan kapasitas diri, mahasiswa
sebagai agen of change dan agen of social control dituntut untuk mengabdikan
diri terhadap masyarakat, dituntut untuk mendampingi masyarakat khususnya
disaat terjadi penindasan.
Ironisnya, saat ini masih banyak mahasiswa
menafikan organisasi, sehingga ada mahasiswa yang beranggapakan bahwa
organisasi hanya menjadi penghalang akademik,
kemudian memutuskan diri sebagai mahasiswa yang academic oriented.
Organisasi yang ada di kampus baik intra ataupun
ekstra pada hakikatnya sebagai lahan mahasiswa untuk meningkatkan kapasitas
diri, pertanyaannya kenapa masih ada mahasiswa yang alergi terhadap organisasi
?!, kenapa organisasi sudah tidak menarik lagi ?!.
Motif utama ada pada aktivis organisasi sendiri,
tak jarang kita temui organisatoris yang mendikotomikan antara kuliah dengan organisasi,
organisatoris yang terlalu asyik
berkecipung di dunia organisasi sampai lupa dengan tujuan awal kuliah, kuliah
di marginalkan sebagai bentuk konsekuensinya, ini perlu dihindari oleh aktivis
organisasi, sebab Ini merupakan faktor utama kenapa mahasiswa alergi
organisasi. Paradikma berpikir organisatoris inilah yang perlu di revolusi,
jika mindsetnya tetap demikian maka akan bersifat fatal, karena mahasiswa tidak
mau mempunyai nasip yang sama dengan organisatoris yang semacam itu. Jadi
idealnya akademik dan organisasi harus
diselaraskan, bukan merupakan dua hal yang harus dipertentangkan, jauh lebi baik jika akademisi yang bergerak sebagai organisatoris.
**
Ali Maksum (Pengurus Komisariat, Bidang Internal 2015-2016).
0 komentar: