Tidak
ada yang memungkiri bahwa umat manusia mengalami perubahan yang laur biasa.
Terjadi perubahan yang luar biasa dalam sejarah manusia dalam mengatur dan
memperbaiki kualitas kehidupan dalam berhubungan dengan alam, manusia dan tuhannya.
Perubahan yang dahsyat dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tatanan
sosial-politik dan sosial-ekonomi, energi, hukum tata kota lingkungan hidup dan
lain seterusnya. Perubahan dahsyat tersebut menurut Abdullah Saeed, antara lain
terikat dengan globalisasi, migran penduduk, kemajun sains, dan teknologi,
eksplorasi ruang angkasa, penemuan arkeologi, evolusi dan genetika, pendidikan
umum dan kemajuan tingkat literasi umat manusia. diatas itu semua adalah bertambahnya
pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya hargat dan martabat manusia,
perjumpaan yang lebih dekat antara umat beragama, munculnya konsep
negara-negara yang berdampak pada kesetaraan dan perlakuan uang sama kepada
semua warga negara, belum lagi kesetaraan gender dan begitu juga seterusnya,
perubahan sosial yang dahsyat tersebut berdampak luar biasa dan merubah pola
berfikir dan pandangan keagamaan baik dilingkungan umat islam maupun umat
beragama yang lain.(baca: Abdulah Saeed, Interpreting
The Al Qur’an; Toward A Contemporary Approch, 2006: 2).
Meskipun
perubahan dimana-mana, termasuk pengetahuan manusia juga bergerak, tumbuh dan
berkembang, namun tetap saja ada masalah. Masih seringkali dijumpai pemahamn
dan keyakinan bahwa pengetahuan agama diyakini dan dipandang sebagai sesuatu
yang absolut, tidak dapat dirubah, dan transendental (selalu terkait dengan
sesuatu yang suci). serta manusia yang dirasa mempunyai pengetahuan keagamaan
yang dalam dianggap seperti manusia setengah tuhan, yang dimana mempunyai
otoritas tertinggi dalam memecahkan berbagai masalah apapun itu.
Padahal
belum tentu orang atau kelompok yang merasa menguasai ilmu keagamaan secara
baik secara otomatis akan dapat memahami dan mengenal perkembangan ilmu
pengetahuan diluar bidang keahliannya secara baik pula hingga bisa memecahkan
segala persoalan dengan pass, linearitas bidang ilmu, khususnya dalam ilmu-ilmu
keagamaan, rupanya mengandung resiko tinggi dalam hidup bermasyarakat secara
luas, khususnya di ruang publik seperti saat sekarang ini, setelah
berkembangnya teknologi informasi dan jejaring sosial yang dibawa serta. Ilmu
agama dengan ilmu fikih tidak dibarengi ilmu sosial dapat mengguncang dan
menurunkan kedudukan, martabat, dan jabatan seseorang. ilmu kalam/aqidah yang
tidak dibarengi ilmu sosiologi dan antropologi menjadikan keimanan seseorang
penuh dengan rasa tidak nyaman, jika hidup berdampingan dengan orang lain yang
berbeda keyakinan dan agama. Begitupun sebaliknya, keahlian dalam bidang
antropologi, sosiologi kedokteran yang tidak memahami fiqih dalam berhubungan
sosial dengan wanita juga dapat mendatangkan mahdarat atau resiko yang tidak
terduga. Kesalehan privat yang tercermin dalam ketaatan beribadah secara
ritual, belum tentu menjamin terbentunya kesalehan sosial, apalagi kesalehan
publik. Kesalehan publik yang antara lain menghargai orang atau kelompok lain
yang berbeda, kesetaraan di depan hukum, menghormati hak asasi manusia belum
tentu dapat berdialog dan terintegrasi dalam way of thinking, budaya fikir
sosial-keagamaan secara utuh. Dalam konteks inilah ilmu agama tidak bisa
berdiri sendiri dalam pemecahan masalah-masalah kehidupan, begitu juga
sebaliknya. maka diskusi akademik bagaimana hubungan antara agama, sains, dan
budaya mendapatkan momentum untuk terus menerus dibicarakan, diperdalam dan
dikembangkan.
Sekali
lagi, Pengkotakan ilmu akan membuat manusia hidup eksklufive, dalam menjalankan
agama pun mereka hanya eksklusive formal-legalistik, pemahaman ilmu sosial dan
alam ketika berdiri sendiri hanya akan menimbulkan masalah pada tatanan alam
dan sosial, eksploitasi alam membabi buta, kapitalisme pasar tak terbendung
jadinya, dan lain sebagainya, begitu juga pemahaman agama yang terkotak, orang
beragama hanya akan merugikan dan menindas orang lain, seperti kejadian
perkawinan nikah sirri seorang bupati Garut dengan seorang wanita yang hanya
dinikahi untuk beberapa hari, dan di cerai melalui pesan sms, dan ia pun cukup
dengan memberikan uang kepada si wanita. Ibarat membeli barang dan setelah
barangnya dibeli dan kemudian diperiksa ternyata rusak, maka dia berhak
mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya. Perlakuan yang tak manusiawi
terhadap wanita ini dilakukannya karena baginya agama menghalalkannya melalui
produk fiqh klasik. Selanjutnya kasus sampang, yaitu pembakaran rumah dan
penghilangan nyawa dan hak hidup orang atau kelompok di bumi tanah air
indonesia. Para masyarakat, kiyai, pejabat, hakim tiba-tiba terjebak dengan
pemahaman agama lama yang menyatakan syiah adalah sesat, belum lagi kasus
ormas-ormas keagamaan yang menghalalkan anarkis mengatas namakan tuhan, serta
masih banyak lagi yang lainnya diluar sana yang cara beragama menafikan
nilai-nilai kemanusiaan gara-gara pemahaman pengetahuan agama yang terkotak
dalam produk fiqh lama tanpa pendekatan keilmuan sosial dan humanities
kontemporer. (bisa juga ditarik ke kasus ISIS yang terbaru ini)
Tegur
sapa antar keilmuan atau dengan meminjam istilahnya Prof. Amin Abdullah
integrasi-interkoneksi keilmuan adalah niscaya untuk keilmuan agama dimasa
sekarang, apalagi masa akan datang, jika
tidak, maka implikasi dan konsekuwensinya akan jauh lebih rumit baik dalam
tatanan sosial, budaya, lebih-lebih politik, baik politik lokal, regional,
nasional, maupun global. Linieritas ilmu pengetahuan akan membuat siswa,
santri, mahasiswa, aktifis, hakim, kiyai, gus, pejabat, berpandangan
lamur/rabun dalam melihat realitas hidup masyarakat dan beragama yang semakin
hari bukanya semakin sederhana tetapi semakin kompleks, sekompleks isi rujak.
Dalam
konteks lingkungan pendidikan perguruan tinggi islam khususnya buat sahabat-sahabat
PMII, mungkin kalimat ini bisa kita renungkan bersama-sama, pidato dari prof.
Umar Kayam yang dikutip oleh prof. Amin Abdullah yang disampaikan pada
perkuliahan kelas materi Pendekatan Agama Dalam Pengkajian Islam beberapa bulan
yang lalu di UIN Sunan Kalijaga. Yaitu sebagai berikut:
“harapan
saya juga sekarang anda juga mulai menyadari bahwa ilmu modern tidak dapat
berdiri sendiri. Ilmu modern, ilmu sosial atau humaniora atau ilmu apa saja,
tidak akan mampu maju manakala ia mengkotakkan dirinya sendiri. Mungkin anda
akan segera mengatakan dengan lantang dengan kami kaum pengajar bahwa
kenyataannya mata kuliah dikampus masih banyak yang terkotak-kotak. Maafkanlah!
Guru-guru anda, termasuk yang berdiri dihadapan anda, adalah produk kurikulum yang
terkotak. Dan guru-guru kami juga hasil dari produk yang terkotak pula, jadi
embah buyut kotak, melahirkan embah kotak, embah kotak melahirkan anak kotak,
dan anak kotak melahirkan cucu kotak. Kotak, kotak, kotak, kotak, kotak. justru
karena anda berada dalam kondisi dan situasi demikian dan berani bersuara
lantang saya ingin menganjurkan dari balik mimbar agar anda mulai membebaskan
diri melepaskan dari penjara ilmu kotak tersebut. Mulailah menyapa kawan-kawan
anda yang terkotak di dekat-dekat anda. Sudahkah ilmu politik berbincang dengan
ilmu sosiologi dan sejarah dan sastra indonesia atau sastra apa saja? Sudahkah
sastra inggris banyak berbincang dengan sastra indonesia, sosiologi dan
antropologi dan kadang-kadang dengan psikologi? C.P. Snow sekian puluh tahun
yang lalu sudah mengeluh dan memperingatkan kita akan bahaya pengkotakan ini
dalam the two culture. Bahkan baliau ingin agar ilmu-ilmu sosial dan humaniora
banyak saling bersapa dengan ilmu-ilmu alam”
Bagaimana dengan
kita, dengan background ilmu-ilmu agama, dengan gelar santri bahkan ada yang
mahasantri, ustadz, mahasiswa perguruan tinggi islam, warga pergerakan islam?
Sungguh jauh lebih komplek, karena dalam pandangan kita tentang ilmu agama ada
sesuatu yang sakral dan suci. Maka tingkat ketersapaan dan dialog antar bidang
ilmu akan jauh lebih sulit, namun sudah barang tentu, dengan nilai dasar
pergerakan sahabat-sahabat yaitu hubungan dengan tuhan, manusia, dan alam,
serta paradigma aswaja yang Manhaj Al Fikr,
dan dengan munculnya pemikir-pemikir pembaharu yang membawa wawasan baru, usaha
untuk melewati jalan yang terjal ini semakin terbuka. meskipun harus dengan
usaha yang ekstra keras, atau berdarah-darah kalau bahasanya sahabat-sahabat
para aktifis. Waallahu a’lam….
**
Nur Syahid (Mantan Presma BEM-IKAHA 2012-2013)
0 komentar: