16 November 2015

Tegur Sapa Ilmu Pengetahuan Menuju agama Yang Rahmatan lil ‘Alamin


Tidak ada yang memungkiri bahwa umat manusia mengalami perubahan yang laur biasa. Terjadi perubahan yang luar biasa dalam sejarah manusia dalam mengatur dan memperbaiki kualitas kehidupan dalam berhubungan dengan alam, manusia dan tuhannya. Perubahan yang dahsyat dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tatanan sosial-politik dan sosial-ekonomi, energi, hukum tata kota lingkungan hidup dan lain seterusnya. Perubahan dahsyat tersebut menurut Abdullah Saeed, antara lain terikat dengan globalisasi, migran penduduk, kemajun sains, dan teknologi, eksplorasi ruang angkasa, penemuan arkeologi, evolusi dan genetika, pendidikan umum dan kemajuan tingkat literasi umat manusia. diatas itu semua adalah bertambahnya pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya hargat dan martabat manusia, perjumpaan yang lebih dekat antara umat beragama, munculnya konsep negara-negara yang berdampak pada kesetaraan dan perlakuan uang sama kepada semua warga negara, belum lagi  kesetaraan gender dan begitu juga seterusnya, perubahan sosial yang dahsyat tersebut berdampak luar biasa dan merubah pola berfikir dan pandangan keagamaan baik dilingkungan umat islam maupun umat beragama yang lain.(baca: Abdulah Saeed, Interpreting The Al Qur’an; Toward A Contemporary Approch, 2006: 2).

Meskipun perubahan dimana-mana, termasuk pengetahuan manusia juga bergerak, tumbuh dan berkembang, namun tetap saja ada masalah. Masih seringkali dijumpai pemahamn dan keyakinan bahwa pengetahuan agama diyakini dan dipandang sebagai sesuatu yang absolut, tidak dapat dirubah, dan transendental (selalu terkait dengan sesuatu yang suci). serta manusia yang dirasa mempunyai pengetahuan keagamaan yang dalam dianggap seperti manusia setengah tuhan, yang dimana mempunyai otoritas tertinggi dalam memecahkan berbagai masalah apapun itu. 

Padahal belum tentu orang atau kelompok yang merasa menguasai ilmu keagamaan secara baik secara otomatis akan dapat memahami dan mengenal perkembangan ilmu pengetahuan diluar bidang keahliannya secara baik pula hingga bisa memecahkan segala persoalan dengan pass, linearitas bidang ilmu, khususnya dalam ilmu-ilmu keagamaan, rupanya mengandung resiko tinggi dalam hidup bermasyarakat secara luas, khususnya di ruang publik seperti saat sekarang ini, setelah berkembangnya teknologi informasi dan jejaring sosial yang dibawa serta. Ilmu agama dengan ilmu fikih tidak dibarengi ilmu sosial dapat mengguncang dan menurunkan kedudukan, martabat, dan jabatan seseorang. ilmu kalam/aqidah yang tidak dibarengi ilmu sosiologi dan antropologi menjadikan keimanan seseorang penuh dengan rasa tidak nyaman, jika hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda keyakinan dan agama. Begitupun sebaliknya, keahlian dalam bidang antropologi, sosiologi kedokteran yang tidak memahami fiqih dalam berhubungan sosial dengan wanita juga dapat mendatangkan mahdarat atau resiko yang tidak terduga. Kesalehan privat yang tercermin dalam ketaatan beribadah secara ritual, belum tentu menjamin terbentunya kesalehan sosial, apalagi kesalehan publik. Kesalehan publik yang antara lain menghargai orang atau kelompok lain yang berbeda, kesetaraan di depan hukum, menghormati hak asasi manusia belum tentu dapat berdialog dan terintegrasi dalam way of thinking, budaya fikir sosial-keagamaan secara utuh. Dalam konteks inilah ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri dalam pemecahan masalah-masalah kehidupan, begitu juga sebaliknya. maka diskusi akademik bagaimana hubungan antara agama, sains, dan budaya mendapatkan momentum untuk terus menerus dibicarakan, diperdalam dan dikembangkan.

Sekali lagi, Pengkotakan ilmu akan membuat manusia hidup eksklufive, dalam menjalankan agama pun mereka hanya eksklusive formal-legalistik, pemahaman ilmu sosial dan alam ketika berdiri sendiri hanya akan menimbulkan masalah pada tatanan alam dan sosial, eksploitasi alam membabi buta, kapitalisme pasar tak terbendung jadinya, dan lain sebagainya, begitu juga pemahaman agama yang terkotak, orang beragama hanya akan merugikan dan menindas orang lain, seperti kejadian perkawinan nikah sirri seorang bupati Garut dengan seorang wanita yang hanya dinikahi untuk beberapa hari, dan di cerai melalui pesan sms, dan ia pun cukup dengan memberikan uang kepada si wanita. Ibarat membeli barang dan setelah barangnya dibeli dan kemudian diperiksa ternyata rusak, maka dia berhak mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya. Perlakuan yang tak manusiawi terhadap wanita ini dilakukannya karena baginya agama menghalalkannya melalui produk fiqh klasik. Selanjutnya kasus sampang, yaitu pembakaran rumah dan penghilangan nyawa dan hak hidup orang atau kelompok di bumi tanah air indonesia. Para masyarakat, kiyai, pejabat, hakim tiba-tiba terjebak dengan pemahaman agama lama yang menyatakan syiah adalah sesat, belum lagi kasus ormas-ormas keagamaan yang menghalalkan anarkis mengatas namakan tuhan, serta masih banyak lagi yang lainnya diluar sana yang cara beragama menafikan nilai-nilai kemanusiaan gara-gara pemahaman pengetahuan agama yang terkotak dalam produk fiqh lama tanpa pendekatan keilmuan sosial dan humanities kontemporer.  (bisa juga ditarik ke kasus ISIS yang terbaru ini)

Tegur sapa antar keilmuan atau dengan meminjam istilahnya Prof. Amin Abdullah integrasi-interkoneksi keilmuan adalah niscaya untuk keilmuan agama dimasa sekarang,  apalagi masa akan datang, jika tidak, maka implikasi dan konsekuwensinya akan jauh lebih rumit baik dalam tatanan sosial, budaya, lebih-lebih politik, baik politik lokal, regional, nasional, maupun global. Linieritas ilmu pengetahuan akan membuat siswa, santri, mahasiswa, aktifis, hakim, kiyai, gus, pejabat, berpandangan lamur/rabun dalam melihat realitas hidup masyarakat dan beragama yang semakin hari bukanya semakin sederhana tetapi semakin kompleks, sekompleks isi rujak.

Dalam konteks lingkungan pendidikan perguruan tinggi islam khususnya buat sahabat-sahabat PMII, mungkin kalimat ini bisa kita renungkan bersama-sama, pidato dari prof. Umar Kayam yang dikutip oleh prof. Amin Abdullah yang disampaikan pada perkuliahan kelas materi Pendekatan Agama Dalam Pengkajian Islam beberapa bulan yang lalu di UIN Sunan Kalijaga. Yaitu sebagai berikut:

“harapan saya juga sekarang anda juga mulai menyadari bahwa ilmu modern tidak dapat berdiri sendiri. Ilmu modern, ilmu sosial atau humaniora atau ilmu apa saja, tidak akan mampu maju manakala ia mengkotakkan dirinya sendiri. Mungkin anda akan segera mengatakan dengan lantang dengan kami kaum pengajar bahwa kenyataannya mata kuliah dikampus masih banyak yang terkotak-kotak. Maafkanlah! Guru-guru anda, termasuk yang berdiri dihadapan anda, adalah produk kurikulum yang terkotak. Dan guru-guru kami juga hasil dari produk yang terkotak pula, jadi embah buyut kotak, melahirkan embah kotak, embah kotak melahirkan anak kotak, dan anak kotak melahirkan cucu kotak. Kotak, kotak, kotak, kotak, kotak. justru karena anda berada dalam kondisi dan situasi demikian dan berani bersuara lantang saya ingin menganjurkan dari balik mimbar agar anda mulai membebaskan diri melepaskan dari penjara ilmu kotak tersebut. Mulailah menyapa kawan-kawan anda yang terkotak di dekat-dekat anda. Sudahkah ilmu politik berbincang dengan ilmu sosiologi dan sejarah dan sastra indonesia atau sastra apa saja? Sudahkah sastra inggris banyak berbincang dengan sastra indonesia, sosiologi dan antropologi dan kadang-kadang dengan psikologi? C.P. Snow sekian puluh tahun yang lalu sudah mengeluh dan memperingatkan kita akan bahaya pengkotakan ini dalam the two culture. Bahkan baliau ingin agar ilmu-ilmu sosial dan humaniora banyak saling bersapa dengan ilmu-ilmu alam”

Bagaimana dengan kita, dengan background ilmu-ilmu agama, dengan gelar santri bahkan ada yang mahasantri, ustadz, mahasiswa perguruan tinggi islam, warga pergerakan islam? Sungguh jauh lebih komplek, karena dalam pandangan kita tentang ilmu agama ada sesuatu yang sakral dan suci. Maka tingkat ketersapaan dan dialog antar bidang ilmu akan jauh lebih sulit, namun sudah barang tentu, dengan nilai dasar pergerakan sahabat-sahabat yaitu hubungan dengan tuhan, manusia, dan alam, serta paradigma aswaja yang Manhaj Al Fikr, dan dengan munculnya pemikir-pemikir pembaharu yang membawa wawasan baru, usaha untuk melewati jalan yang terjal ini semakin terbuka. meskipun harus dengan usaha yang ekstra keras, atau berdarah-darah kalau bahasanya sahabat-sahabat para aktifis. Waallahu a’lam….


**
Nur Syahid (Mantan Presma BEM-IKAHA 2012-2013)

Related Posts

0 komentar: