17 November 2015

Komentar Terbuka Untuk Sahabat Rifqi NH


Melihat tulisan sahabat mesra saya, jadi ingat rutinitas ngopi pagi di warung si mbah. Sekarang, ketemu lagi di dunia maya, kita diskusi. 

Langsung saja pada poin pembahasan. Secara garis besar, untuk tingkat tulisan opini, sangat disayangkan sekali jika tidak menuturkan secara definitif antara islam, umat islam (muslim), dan arab-islam. Konsisten dalam definisi untuk menarik sebuah ide besar di dalamnya. 

Apalagi (ditambah lagi), mencampur-adukkan menjadi satu antara islam, muslim, dan arab-islam. Kemudian menjadikan arab-islam sebagai perwakilan dalam peta pemikiran muslim hari ini. Simplikatif sekali.

Saya tidak mau memperdalam dalam garis besar itu. Yang menggelitik justru di dua paragraf terakhir. Saya memahami bahwa kang Rifqi mendiskreditkan (mengesampingkan) "tumpukan kitab", ritual keagamaan, ziarah makam, dan semacam itu. Saya menjadi khawatir kalau ke-NU-an sampean sudah mulai tergerus luntur. Atau, jangan-jangan sudah tidak NU lagi? hehehehe


Memang tidak penting apakah anda NU atau bukan, tapi yang perlu digarisbawahi adalah kedudukan di PMII yang secara "nilai-nilai" mempunyai "darah", tapi ntah secara struktural. Dan anda berada di dalamnya, yang seharusnya juga menginteraksikan nilai-nilai itu dalam konsistensi berpikir.

Justru, bentuk ziarah, mistis masyarakat desa, barzanji, dan media keagamaan itu menunjukkan kemajuan umat manusia. Ini subyektifitas saya. Karena media itu menuturkan kepada kita secara praktiknya (lisanul maqal) bahwa masih ada nilai-nilai kemanusiaan di sana.

Komunikasi antarmanusia terjadi secara ikhlas, tidak harus membayar mereka untuk datang seperti acara talkshow yang membayar hadirin. Menomorduakan materi, menginsafi bahwa kemanusiaan dan agama lebih penting dan luhur nilainya daripada materi.

Mereka meninggalkan hiruk pikuk kematerian dagang, tani, dan lainnya untuk sementara waktu dan mengutamakan ziarah. Bukankah itu menomorduakan nilai-nilai materi keduniaan? Ada nilai yang lebih luhur daripada materi itu sendiri, yakni penghayatan keagamaan dan praktisnya dalam diri mereka yang tidak hanya beretorika, banyak omong.

Menyisihkan waktu barzanji dan diba' di malam hari. Menomorduakan kesibukan-kesibukan dunia dan berkomunikasi mesrah dalam lingkar nilai-nilai keagamaan dan nilia-nilai kemanusiaan.

Lagi, menomorduakan kitab kuning sebagai referensi menunjukkan ketidakmampuan memahami.
Justru, semakin mendalami kitab kuning, semakin luhur dan bijak mengaguminya. Diksi, struktur balaghahnya, pemahaman akan realita budayanya, dan pengambilan hukumnya.

Saya kasih misal dalam fathul qarib. Dalam bab puasa, ada redaksi ".......min muslimin, 'aqilin, thohirin min haidlin wa nifasin", seluruh muslim, berakal, suci dari haidl dan nifas. Kurang lebih begitu terjemahnya. Tapi pernahkah anda meneliti lebih jeli, bahwa "thohir", "aqil", "muslim" adalah mudzakkar secara gramatikal arab. Lantas kenapa ditindaklanjuti dengan "haidl dan nifas"?

Itu dari segi diksi dan struktur, belum lagi ketika dikaji dengan hermeunitika, kenapa pesantren memilih kitab fathul qarib menjadi rujukan utama, dan seterusnya.

Memang ada beberapa bab fiqh misalkan, untuk dikaji ulang di zaman sekarang. Seperti bab perbudakan dan lain sebagainya. Tapi, yang perlu menjadi titik tekan sebenarnya adalah, upaya memerdekakan budak dalam fiqh sangat frontal.

Upaya pembebasan kemanusiaan bisa anda pahami melalui hak-hak dan kewajiban budak. Pentakziran kaum bermodal dengan memerdekakan budak, dan seterusnya. Itu yang menarik.

Jauh lagi, dalam kitab kuning, fiqh misalkan, jauh-jauh hari para pengarangnya sudah berani berhayal dan memberikan hukumnya. bagaimana jika babi berkepala kambing, atau sebaliknya, halal atau haram? bagaimana jika kasyafah (kucur kemaluan) itu dilipat dan memasukkan pada farji wanita, apakah termasuk zina atau tidak?
Pendiskreditan akan kitab kuning sebagai refrensi kajian pemikiran, menunjukkan kelemahan dan kedangkalan dalam mengkaji kitab kuning. Saya berani bertaruh pada pemahaman kitab kuning anda.

Terakhir, dalam NU ada kaidah menarik yang tetap harus kita jaga bukan? Menjaga tradisi lama, mengambil yang baru, dan menciptakan yang terbaru.

Pengadopsian akan pemikiran baru, tidak lantas menyerang habis, menggerus dan menguburnya. Tidak lantas mengubur dan mendiskreditkan ritual keagamaan, ziarah dan semacamnya. Banyak nilai-nilai luhur di dalamnya.
Orang-orang kota sudah kesusahan untuk berkomunikasi antarsesama  lho. Mengumpulkan banyak orang untuk mengobrol meluangkan waktu, menomorduakan materi. Nilai-nilai kemanusiaan lebih diunggulkan daripada materi semata.

Kalau nilai-nilai seperti itu hendak anda singkirkan, lantas nilai kemanusiaan bagaimana lagi yang hendak bangun? masyarakat ideal itu bagaimana?
Sedangkan pergolakan perjuangan kerakyatan itu dibangun dari khalaqah-khalaqah semacam itu oleh para ulama pendahulu. baca berangkat dari pesantren karya mbah kiai saifuddin zuhri.
---
Penitikberatan perjuangan "spirit profetik" tidak lantas meninggalkan wadahnya. Menjaga keseimbangan antara yang nampak dan spirit adalah keidealan dalam perjuangan, begitu terang mbah al-Ghazali


**
Yayan Mustofa (Alumnus 2013)

Related Posts

0 komentar: