06 September 2023

Cacatnya Independensi dalam Tubuh PMII

https://Fgerakan-mahasiswa.html&psig

Rabu, 06/09/23

Oleh ; Ahmad Fikri (Ketua Tiga Komisariat Hasyim Asy'ari)

Lembaga Literasi Komisariat  [Firda Dwi]

    PMII memiliki sejarah yang panjang di negeri ini. Organisasi yang berdiri pada tahun 1960 tersebut pada awalnya merupakan badan otonom Nahdhatul Ulama (NU) yang kala itu masih menjalankan fungsinya sebagai partai politik. Namun, tepat pada tanggal 14 Juli 1972 terjadi peristiwa bersejarah yang dikenal dengan deklarasi Murnajati. Dalam deklarasi tersebut, PMII menyatakan dirinya independen dari organisasi atau lembaga apa pun.

   Salah satu alasan mendasar yang menjadi pertimbangan para kader PMII waktu itu adalah "jika tetap bernaung di bawah NU yang masih berada dalam wilayah politik praktis, maka PMII akan mengalami kesulitan untuk berkembang sebagai organisasi mahasiswa."¹

   Berangkat dari alasan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa sedikitnya ada dua hal penting yang menjadi pijakan terlaksananya independensi. Pertama, PMII memiliki semangat kemajuan. Kedua, PMII sadar dan menilai bahwa keterlibatannya dalam politik praktis bisa menjadi kendala majunya organisasi.

   Terlepas dari kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa independensi PMII-NU berakhir pada tahun 1991 dengan adanya deklarasi interdependensi, namun substanai keindependenan PMII sebagai lembaga atau organisasi masih terus berlanjut. Hari ini (Rabu, 6 September 2023), sebagai kader PMII kita berhak menanyakan soal keberlanjutan independensi tersebut, utamanya terhadap Pengurus Besar (PB) PMII sebagai kepengurusan tertinggi dalam PMII.

   Isu yang beredar tentang cacatnya sikap independen PMII hari ini bukan lagi tentang hubungannya dengan NU, tapi tentang hubungan PMII dengan salah satu partai politik yang ada di Indonesia. Banyak pihak menilai PMII merupakan organisasi kepanjangan partai politik. Hal tersebut menguat dengan sikap yang ditunjukkan oleh PB PMII secara terang-terangan mendukung salah satu kompetitor politik dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan dilaksanakan tahun 2024. PB PMII mengatas namakan PMII menyatakan dukungan dan restunya terhadap Abdul Muhaimin Iskandar sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang diusung oleh partai Nasdem dan PKB.


   Soal keberpihakan PMII terhadap sosok yang akrab dipanggil Cak Imin sebenarnya telah terindikasi sejak lama. Hal tersebut sering ditampakkan oleh Muhammad Abdullah Syukri selaku ketua umum PB PMII dalam banyak pidatonya ketika memberi sambutan di berbagai event yang diadakan oleh PMII. Sebagai ketua umum, setiap wacana dan sikap dari pria yang akrab dipanggil Abe tersebut tentu akan dianggap sebagai representasi dari sikap PMII yang dipimpinnya. Apalagi, Abe sendiri memang sering mengatas namakan PMII dalam konteks pencalonan Cak Imin.

   Menurut Abe, dukungan yang ia berikan terhadap Cak Imin karena ia merupakan senior PMII. Selain sebagai senior yang sempat menduduki posisi ketua umum PB PMII, hari ini Cak Imin juga sedang menjabat sebagai ketua Majelis Pembina Nasional (Mabinas) PMII. Salah satu posisi penting dan berpengaruh selain ketua umum di internal PMII.

    Menghadapi realitas tersebut, profesionalitas yang menjadi salah satu butir Tri-khidmah PMII layak dipertanyakan keberadaannya. Masihkah profesionalitas itu ada dalam diri kader PMII?

   Alih-alih diwakili oleh oknum, justru yang menunjukkan kekeringan jiwa profesional kader PMII adalah PB PMII itu sendiri. PB PMII hari ini kiranya telah gagal menyikapi secara profesional posisi Cak Imin sebagai senior, ketua Mabinas, atau Bacawapres yang seharusnya memunculkan sikap beragam dari masing-masing identitas yang melekat pada Cak Imin tersebut.


   Kapasitas Cak Imin sebagai senior atau ketua Mabinas memang perlu diikuti serta didengar saran dan masukannya yang konstruktif untuk kemajuan PMII. Namun kapasitas Cak Imin sebagai Bacawapres hendaknya perlu dikritisi gagasannya dan diuji kelayakannya. Bukannya mengkrikitisi dan menguji kelayakan, ujuk-ujuk PB PMII memberikan dukungannya kepada Cak Imin bahkan sejak sebelum adanya deklarasi terhadap dirinya sebagai Bacawapres.

   PB PMII juga tidak komitmen terhadap Pokok-Pokok Rekomendasi hasil keputusan Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) PMII yang dilaksanakan di Tulungagung pada akhir November 2022 kemaren. Padahal, proses berjalannya Muspimnas waktu itu diperjuangkan mati-matian agar tetap sesuai harapan sebagai forum bertukar gagasan antar pimpinan pengurus cabang maupun koordinator cabang seluruh Indonesia. Sebab, pada perhelatan forum tertinggi PMII setelah Kongres tersebut banyak oknum tidak bertanggung jawab yang mewarnainya dengan tindakan-tindakan anarkis.


   Pokok-Pokok Pikiran dan Rekomendasi PMII mengenai Bidang Politik terdapat pada halaman 231-232 dalam kumpulan hasil Muspimnas.


   Poin satu dalam bagian ini yang tertulis pada Bidang Politik mengatakan bahwa PMII mengajak seluruh elemen bangsa menolak politik identitas dengan politisasi agama, etnis, dan ras yang berpotensi menimbulkan konflik berkepanjangan. Nyatanya, Cak Imin yang didukung PB PMII merupakan salah satu politikus yang sering membawa-bawa nama agama dalam kampanye yang ia jalankan. Terlebih khusus, Cak Imin sering membawa nama NU dan Pesantren untuk menggaet suara kemenangannya. Dengan itu, semakin jelas bahwa Cak Imin telah melakukan politik identitas. Ini jelas bertentangan dengan semangat PMII yang tertuang dalam hasil keputusan Muspimnas mengenai politik.


   Yang terhormat para jajaran pengurus di PB PMII, bagaimanakah anda membaca realitas ini? Benarkah PMII kepanjangan tangan dari salah satu partai politik di negeri ini? Saya pun tahu, ini bukan yang pertama kalinya terjadi di organisasi mahasiswa, khususnya PMII. Tapi apa salahnya budaya jelek ini dihilangkan? Tapi ya, sudahlaah.......



______________________________________________________

¹https://pmii-iteb.com/berita/detail/sejarah-pmii-#:~:text=Atas%20dasar%20pertimbangan%20ini%20diadakanlah,maupun%20dalam%20gerak%20operasional%20organisasi.

 

Related Posts

0 komentar: