Pernah suatu ketika saya membaca Koran Jawa Pos dengan rupbrik ‘Opini’,
tanpa saya mencoba untuk mengingat-ingat nama dari penulisnya. Mungkin ini
bagian dari kelemahan saya sebagai mahasiswa (itupun jika panjenengan
mengakuinya) dalam hal ‘kognitif’. Jika memang ini dianggap sebagai dosa
akademik, harap dimaklumi dan semoga tidak ada yang meniru kelakuan buruk saya ini
dikemudian hari.
Diawal penulisannya, penulis mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia
dewasa ini telah kehilangan sifat Individualisme-nya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Spontan saya kaget dan langsung menganggap
penulis adalah manusia dengan paham ‘Kapitalis’. Paham yang sangat dibenci oleh
sebagaian masyarakat berpendidikan di Indonesia yang –sayangnya- hanya melalui
berbagai macam forum dialog (rasan-rasan), tapi sangat di-Tuhan-kan dalam
tindak-tanduknya sehari-hari. Dan salah satu ciri paham kapitalis adalah sifat individualis.
Apa jadinya jika Negara yang masih berumur kencur ini, dengan realitas
masyarakatnya yang plural dan -mau tidak mau- harus saling memahami perbedaan
satu sama lain, justru menerapkan prinsip ‘hidup sendiri’. Kehidupan yang tidak
mengakui keberadaan hidup manusia disekitarnya, yang tidak mau tahu kesusahan ‘tetangga
sebelah’-nya, dan tidak ada kemauan sama sekali untuk meminta bantuan disaat
dirinya membutuhkan bantuan. Intinya, poko’e aku saiki seneng, wong liyo
kapan-kapan ae, poko’e saiki wong liyo susah, aku kapan-kapan ae.
Ternyata maksud dari penulis yang tidak saya kenali tadi berbeda dari
pemahaman lugu saya. Ia menulis diluar mainstream. Paham individualisme
tidak sepenuhnya salah, jika hal itu diterapkan sesuai dengan kondisi
masyarakat yang tengah berjuang mempertahankan kemerdekaan (karena memang ‘merdeka’
harus dimaknai secara universal, bukan particular) dengan
orientasi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Semua orang mengetahui bahwa sesuatu yang ‘berlebihan’ itu tidak baik. Termasuk
peduli terhadap orang lain secara berlebihan, yang berimbas pada kelalaian
untuk peduli terhadap diri sendiri. Jelas ini menyalahi konsep ‘adil’. Untuk lebih
mudah dipahami, saya menganalogikannya dengan ban sepeda motor. Kedua buah ban,
jika sama-sama terisi penuh (sesuai dengan konsep adilnya pengisian ban) akan
memudahkan pengendaranya dan menghindari rasa tidak nyaman disaat berkendara. Andai
kedua ban itu kempes atau bocor, sepeda motor akan terasa berat dipakai karena beban
kendaraan bertambah. Begitu juga jika salah satu ban atau keduanya itu kelebihan
angin. Guncangan yang diakibatkan dari ban yang kelebihan angin membuat pengendara
menjadi tidak nyaman jika melewati jalan yang rusak. Dan secara tidak langsung,
keseimbangan fungsi dari sepeda motor telah dicederai oleh ban
yang berlebihan penuh atau berlebihan kosong itu tadi.
Maka daripada itu, dibutuhkankanlah prinsip individual dengan tujuan
untuk mengimbangi kebiasaan masyarakat Indonesia yang sudah dianggap diluar
batas manusiawinya. Tapi dengan syarat, bahwa dalam pengamalan paham individual
itu juga tidak boleh ‘berlebihan’.
Jika panjenengan merasa bingung, disitulah tujuan saya menulis. Membuat
bingung pembaca. Karena jika seseorang bingung, berarti seseorang itu berpikir.
Lantas, apa hubungannya dengan judul tulisan diatas ?. Berikut
penjelasannya.
Maksud kata “Bagian”
Secara territorial, Jombang adalah bagian dari wilayah geografis
Negara Indonesia dengan sebutan ‘Kabupaten’. Segala sesuatu yang mengancam kehidupan
masyarakat jombang, Negara harus hadir turun tangan menyelesaikan permasalahan
yang menimpa “bagian” dari wujud keadaannya. Sama halnya dengan Mahasiswa
Unhasy. Secara administratif, mahasiswa Unhasy adalah bagian dari sebuah
perguruan tinggi yang bernama Unhasy. Ia adalah dimensi yang disebut dengan ‘peserta
didik’. Segala sesuatu yang dibutuhkan oleh peserta didik, perguruan tinggi
mempunyai kewajiban untuk memfasilitasi “bagian” nya.
Singkatnya, “bagian” adalah sesuatu yang ‘diberi’ atau ‘penerima’
pemberian.
Pertanyaannya, apakah paradigma yang demikian itu harus dipakai
mahasiswa selama ia menjadi mahasiswa ? Yakni paradigma yang memosisikan
mahasiswa sebagai ‘bagian’ atau ‘penerima’, bukan ‘pemberi’ ? bagaimana jika paradigma
itu dirubah menjadi Mahasiswa adalah ‘pemberi’ dan memosisikan perguruan tinggi
sebagai ‘penerima’ ?
Mungkin selama ini kita kurang menyadari akan eksistensi Unhasy diluar
daerah Jombang. Jangankan untuk luar daerah, salah satu masyarakat Belimbing
(tetangga sebelahnya desa sahabati Titik) yang masih dalam kawasan Jombang pun
dibuat plonga-plongo saat salah satu mahasiswanya mengajukan proposal agenda
kegiatan organisasi kampus. Dengan lugunya masyarakatnya Belimbing ini
bertanya; “Unhasy iku opo mas ?”
Kenapa bisa begitu ? ya karena selama ini Mahasiswa hanya memosisikan
diri sebagai ‘penerima’, bukan ‘pemberi’. Mahasiswa hanya bisa mengadahkan
tangan menuntut belas kasihan dan pemberian dari kampus. Yang katanya kampus
harus membuatkan masjid lah, membangun aula yg lebih representative lah,
meringankan biaya kuliah lah, pengampu mata kuliah harus professional lah,
dan beberapa lah lain yang sebenarnya itu semua bisa mencoreng nama baik
Mahasiswa yang katanya sebagai agen of change dari suatu Bangsa.
Besar kemungkinan pula, mahasiswa sekarang sudah tidak mempunyai
kepedulian terhadap masa depan akan dirinya. Ia lebih peduli terhadap
keberlangsungan hidup orang lain. Segala tingkah laku orang lain ia anggap
salah dan ia revisi semau sendiri, sampai-sampai tidak ada waktu baginya untuk
merevisi kehidupan pribadinya. Padahal, jika mahasiswa ini benar-benar berfikir
pener (tepat), kegagalannya sebagai manusia dikemudian hari akan
berdampak pada kehidupan disekitarnya. Mengkritisi orang lain boleh-boleh saja,
asal tidak berlebihan dan dengan tujuan untuk membiasakan hidup bermasyarakat
dengan salah satu cirinya adalah saling mengingatkan satu sama lain.
Mari kita bayangkan, seandainya mahasiswa saat ini memiliki jiwa ‘pemberi’.
Saat kampus mengalami krisis karya tulis, mahasiswa berbondong-bondong membuat
pelatihan menulis yang dilaksanakan secara bertahap. Saat kampus sudah tidak
lagi memiliki budaya diskusi, mahasiswa dengan masing-masing program studinya
meramaikan halaman kampus dengan membawa setumpuk buku, mebaca secara
bersama-sama dan kemudian mendiskusikannya secara terus menerus. Ketika kampus
tidak dikenal oleh masyarakat umum, dengan bekal pengalaman organisasinya
mahasiswa membuat agenda pengabdian masyarakat tanpa harus menunggu program
Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilaksanakan oleh pihak kampus. Dan masih banyak
lagi ‘pemberian’ yang bisa dilakukan oleh Mahasiswa jika memang ingin merubah paradigma
‘penerima’ menjadi ‘pemberi’.
Sungguh, alangkah dinamisnya kehidupan kampus jika antar dimensi dari
perguruan tinggi itu saling memberi.
Menutup tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa;
Saya telah menyindir diri saya sendiri…
**
Rivai Moehamed (Mahasiswa semester
III Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam)
0 komentar: