29 Oktober 2015

UNHASY Bagian dari Mahasiswa

Pernah suatu ketika saya membaca Koran Jawa Pos dengan rupbrik ‘Opini’, tanpa saya mencoba untuk mengingat-ingat nama dari penulisnya. Mungkin ini bagian dari kelemahan saya sebagai mahasiswa (itupun jika panjenengan mengakuinya) dalam hal ‘kognitif’. Jika memang ini dianggap sebagai dosa akademik, harap dimaklumi dan semoga tidak ada yang meniru kelakuan buruk saya ini dikemudian hari.

Diawal penulisannya, penulis mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia dewasa ini telah kehilangan sifat Individualisme-nya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Spontan saya kaget dan langsung menganggap penulis adalah manusia dengan paham ‘Kapitalis’. Paham yang sangat dibenci oleh sebagaian masyarakat berpendidikan di Indonesia yang –sayangnya- hanya melalui berbagai macam forum dialog (rasan-rasan), tapi sangat di-Tuhan-kan dalam tindak-tanduknya sehari-hari. Dan salah satu ciri paham kapitalis adalah sifat individualis.

Apa jadinya jika Negara yang masih berumur kencur ini, dengan realitas masyarakatnya yang plural dan -mau tidak mau- harus saling memahami perbedaan satu sama lain, justru menerapkan prinsip ‘hidup sendiri’. Kehidupan yang tidak mengakui keberadaan hidup manusia disekitarnya, yang tidak mau tahu kesusahan ‘tetangga sebelah’-nya, dan tidak ada kemauan sama sekali untuk meminta bantuan disaat dirinya membutuhkan bantuan. Intinya, poko’e aku saiki seneng, wong liyo kapan-kapan ae, poko’e saiki wong liyo susah, aku kapan-kapan ae.  

Ternyata maksud dari penulis yang tidak saya kenali tadi berbeda dari pemahaman lugu saya. Ia menulis diluar mainstream. Paham individualisme tidak sepenuhnya salah, jika hal itu diterapkan sesuai dengan kondisi masyarakat yang tengah berjuang mempertahankan kemerdekaan (karena memang ‘merdeka’ harus dimaknai secara universal, bukan particular) dengan orientasi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Semua orang mengetahui bahwa sesuatu yang ‘berlebihan’ itu tidak baik. Termasuk peduli terhadap orang lain secara berlebihan, yang berimbas pada kelalaian untuk peduli terhadap diri sendiri. Jelas ini menyalahi konsep ‘adil’. Untuk lebih mudah dipahami, saya menganalogikannya dengan ban sepeda motor. Kedua buah ban, jika sama-sama terisi penuh (sesuai dengan konsep adilnya pengisian ban) akan memudahkan pengendaranya dan menghindari rasa tidak nyaman disaat berkendara. Andai kedua ban itu kempes atau bocor, sepeda motor akan terasa berat dipakai karena beban kendaraan bertambah. Begitu juga jika salah satu ban atau keduanya itu kelebihan angin. Guncangan yang diakibatkan dari ban yang kelebihan angin membuat pengendara menjadi tidak nyaman jika melewati jalan yang rusak. Dan secara tidak langsung, keseimbangan fungsi dari sepeda motor telah dicederai oleh ban yang berlebihan penuh atau berlebihan kosong itu tadi.

Maka daripada itu, dibutuhkankanlah prinsip individual dengan tujuan untuk mengimbangi kebiasaan masyarakat Indonesia yang sudah dianggap diluar batas manusiawinya. Tapi dengan syarat, bahwa dalam pengamalan paham individual itu juga tidak boleh ‘berlebihan’.
Jika panjenengan merasa bingung, disitulah tujuan saya menulis. Membuat bingung pembaca. Karena jika seseorang bingung, berarti seseorang itu berpikir.
Lantas, apa hubungannya dengan judul tulisan diatas ?. Berikut penjelasannya.

 Maksud kata “Bagian”

Secara territorial, Jombang adalah bagian dari wilayah geografis Negara Indonesia dengan sebutan ‘Kabupaten’. Segala sesuatu yang mengancam kehidupan masyarakat jombang, Negara harus hadir turun tangan menyelesaikan permasalahan yang menimpa “bagian” dari wujud keadaannya. Sama halnya dengan Mahasiswa Unhasy. Secara administratif, mahasiswa Unhasy adalah bagian dari sebuah perguruan tinggi yang bernama Unhasy. Ia adalah dimensi yang disebut dengan ‘peserta didik’. Segala sesuatu yang dibutuhkan oleh peserta didik, perguruan tinggi mempunyai kewajiban untuk memfasilitasi “bagian” nya.

Singkatnya, “bagian” adalah sesuatu yang ‘diberi’ atau ‘penerima’ pemberian.

Pertanyaannya, apakah paradigma yang demikian itu harus dipakai mahasiswa selama ia menjadi mahasiswa ? Yakni paradigma yang memosisikan mahasiswa sebagai ‘bagian’ atau ‘penerima’, bukan ‘pemberi’ ? bagaimana jika paradigma itu dirubah menjadi Mahasiswa adalah ‘pemberi’ dan memosisikan perguruan tinggi sebagai ‘penerima’ ?

Mungkin selama ini kita kurang menyadari akan eksistensi Unhasy diluar daerah Jombang. Jangankan untuk luar daerah, salah satu masyarakat Belimbing (tetangga sebelahnya desa sahabati Titik) yang masih dalam kawasan Jombang pun dibuat plonga-plongo saat salah satu mahasiswanya mengajukan proposal agenda kegiatan organisasi kampus. Dengan lugunya masyarakatnya Belimbing ini bertanya; “Unhasy iku opo mas ?”

Kenapa bisa begitu ? ya karena selama ini Mahasiswa hanya memosisikan diri sebagai ‘penerima’, bukan ‘pemberi’. Mahasiswa hanya bisa mengadahkan tangan menuntut belas kasihan dan pemberian dari kampus. Yang katanya kampus harus membuatkan masjid lah, membangun aula yg lebih representative lah, meringankan biaya kuliah lah, pengampu mata kuliah harus professional lah, dan beberapa lah lain yang sebenarnya itu semua bisa mencoreng nama baik Mahasiswa yang katanya sebagai agen of change dari suatu Bangsa.

Besar kemungkinan pula, mahasiswa sekarang sudah tidak mempunyai kepedulian terhadap masa depan akan dirinya. Ia lebih peduli terhadap keberlangsungan hidup orang lain. Segala tingkah laku orang lain ia anggap salah dan ia revisi semau sendiri, sampai-sampai tidak ada waktu baginya untuk merevisi kehidupan pribadinya. Padahal, jika mahasiswa ini benar-benar berfikir pener (tepat), kegagalannya sebagai manusia dikemudian hari akan berdampak pada kehidupan disekitarnya. Mengkritisi orang lain boleh-boleh saja, asal tidak berlebihan dan dengan tujuan untuk membiasakan hidup bermasyarakat dengan salah satu cirinya adalah saling mengingatkan satu sama lain.  

Mari kita bayangkan, seandainya mahasiswa saat ini memiliki jiwa ‘pemberi’. Saat kampus mengalami krisis karya tulis, mahasiswa berbondong-bondong membuat pelatihan menulis yang dilaksanakan secara bertahap. Saat kampus sudah tidak lagi memiliki budaya diskusi, mahasiswa dengan masing-masing program studinya meramaikan halaman kampus dengan membawa setumpuk buku, mebaca secara bersama-sama dan kemudian mendiskusikannya secara terus menerus. Ketika kampus tidak dikenal oleh masyarakat umum, dengan bekal pengalaman organisasinya mahasiswa membuat agenda pengabdian masyarakat tanpa harus menunggu program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilaksanakan oleh pihak kampus. Dan masih banyak lagi ‘pemberian’ yang bisa dilakukan oleh Mahasiswa jika memang ingin merubah paradigma ‘penerima’ menjadi ‘pemberi’.

Sungguh, alangkah dinamisnya kehidupan kampus jika antar dimensi dari perguruan tinggi itu saling memberi.

Menutup tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa;
Saya telah menyindir diri saya sendiri…

**

Rivai Moehamed (Mahasiswa semester III Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam)

Related Posts

0 komentar: