05 April 2015

Sekitar Peranan Mulut

Lidah lebih tajam dari pedang. Karena itu jangan omong sembarangan, bikin luka dan sengsara. Mendingan diam, karena diam itu emas. Sebab, hanya tong kosong yang nyaring bunyinya. Lagi pula diam itu bukan berarti dungu. Tengoklah perawan yang lagi dipinang, diam saja tertunduk-tunduk, memilin-milin ujung rambut, itu artinya dia betul-betul mau.

Ada masa, tidak semua mulut dianggap jelek. Lihat-lihat mulutnya dulu, tidak bisa pukul rata. Mulut siapa yang jelek? ”Perempuan? Bah. Kalau sebelah kakiku sudah di lubang kubur, barangkali baru bisa kupercaya omongan mereka itu, yang tak punya bakat seni ataupun politik”, kata Nietzsche. Untungnya, di negeri kita ini ada bait nyanyian: ”Terang bulan terang di kali, buaya timbul disangka mati. Jangan percaya mulut lelaki, berani sumpah takut mati”. Dengan begitu menjadi tidak jelas lagi, siapa sebetulnya yang lebih lancung.
           
Tapi, ada masa semua orang tak kecuali, lelaki atau perempuan, boleh bicara sepuas hati sampai mulut berbusa. Yang satu lebih keras dari yang lain, seperti lelang ikan. Namanya masa liberal. Hanya orang-orang bisa dan tuli yang mampu terbebas dari keriuhan ini. Kalau sekadar mulut berbusa saja, masa bodohlah. Tapi kalau sebentar-sebentar kabinet terpelanting dari kursinya, tak ubahnya seperti piring-mangkuk, nanti dulu. Orang toh tidak bisa jadi menteri cuma sebentar.
           
Maka ada Kabinet Kerja di bawah PM Djuanda itu, teriring semboyan: ”Sedikit bicara, banyak kerja”. Semua orang yang bermodal mulut semata-mata menyempit lapangannya. Bursa mulut turun, dan keringat naik derajat. Kegaduhan sedikit demi sedikit berkurang, orang makin lama bicara makin pelan, sehingga mau tidak mau coraknya berganti jadi kasak-kusuk. Padahal, ditilik dari sudut kebajikan, omong besar dan kasak-kusuk sama-sama bukan tabiat yang layak dipuji, seperti halnya orang kegemukan atau kekurusasan.
           
Melihat gelagat ini, semboyan ditinjau kembali. Bukannya ”Sedikit bicara banyak kerja”, melainkan ”Banyak bicara banyak kerja”. Akur, kata K.H. Idham Chalid waktu itu. Mengapa? Sebab, bicara saja tanpa kerja itu namanya beo. Bekerja saja tanpa bicara itu namanya maling. Perumpamaan ini membuat para pendengar tertawa terpingkal-pingkal, baik yang merasa dirinya memang beo, atau yang merasa dirinya memang maling.
        
Di zaman pembangunan seperti sekarang ini, sudah barang tentu yang pertama-tama harus dilakukan orang adalah kerja. Kalau semata-mata kerja saja, tanpa bicara sepatah pun, apa ini artinya seperti maling? Oh tidak, tidak maling. Walau sekarang bicara bukan pekerjaan terhormat, bukan berarti orang tidak diperkenankan bicara. Cuma namanya yang ganti, bukan bicara melainkan berdialog, berkomunikasi, berseminar, bersimposium, berlokakarya, berdiskusi, dan sarasehan. Kesemua ini memang via mulut juga, tapi lain sedikitlah. Bahkan Parlemen, yang menurut riwatnya justru tempat bicara, tidaklah gemar lagi membuka mulut selebar-lebarnya, seperti mbah guru mereka Montesquieu yang meraung-raung di mimbar bagaikan keledai, melainkan memilih kecermatan di atas segala-galanya.
           
Kalau toh perlu bicara, harap dengan data, seperti nona Spanyol dengan kipas dan sinyo Prancis dengan bunga. Orang zaman sekarang suka angka-angka, makin banyak makin bagus. Pimpinan yang baik adalah pimpinan yang hafal angka-angka di luar kepala, angka apa saja dan kapan saja. Misalnya, orang harus bicara seperti ini: Di tahun 2000, pendapatan per kapita per tahun orang Indonesia yang sekarang Rp 37.350,00 bisa naik jadi Rp 172.750,00. Di tahun 2010 naik jadi 15.000 juta. Cucu dari orang yang hidup tahun itu bisa menyaksikan orang di dunia 60.000 juta. Dan d tahun 2625, tiap manusia cuma kebagian tempat berdiri sekaki persegi, tak ubanya seperti kita naik bus kota sekarang. Itu kata Robert S. McNamara. Itu kalau migrasi tidak digalakkan, atau KB macet, atau angka kematian tidak dipertinggi, misalnya lewat perang agar mereka saling tikam sesamanya, atau beri fasilitas orang yang bermaksud bunuh diri, bagaikan fasilitas Dinas Pariwisata buat kaum turis.


***
Mahbub Djunaidi; Majalah Tempo, 5 April 1975

Related Posts

0 komentar: