Namanya juga pengangguran -sebutan yg ditujukan kepada mereka-mereka yg tak beraktifitas sesuai dengan standar bekerjanya masyarakat setempat-, hidupnya tak begitu dihargai oleh orang lain. Dianggap tidak penting. Seperti percakapan kedua manusia pengangguran berikut ini:
"Lihat, betapa superiornya lelaki di dalam agama Islam", ujar Mausul kepada lawan bicaranya yg tak lain adalah temannya sendiri, Waluyo.
"Di dalam sholat berjama'ah", lanjut Mausul
"Barisan laki-laki ditempatkan di depannya barisan perempuan. Segala gerak-gerik sholatnya perempuan harus mengikuti apa yg dilakukan oleh barisan sholat yg didepan, yakni laki-laki"
"Itu artinya, laki-laki adalah pemimpin dan perempuan sudah pasti yg dipimpin"
"Lantas ?", tanya Waluyo yg sedikit bingung dengan maksud perkataan Mausul.
"Ya sudah jelas Toh. Bahwa Takdirnya laki-laki itu adalah pemimpin. Dan tak akan menjadi pepimpin jika ia bukanlah laki-laki (perempuan)"
"Kok bisa begitu ?", Waluyo semakin bertambah bingung
"Pernah engkau temui seorang perempuan menjadi imamnya atau pemimpinnya laki-laki di dalam sholat ? Atau barisan sholatnya perempuan berada di depan barisannya laki-laki ?". Mausul semakin antusias dengan ucapannya
"Enggak pernah", jawab Waluyo dengan santainya, seolah2 pembicarannya dengan Mausul ia anggap tidak begitu serius
"Superioritas laki-laki tidak hanya terjadi didalam peribadatan saja. Di dalam urusan memperbanyak keturunan, laki-laki mendapatkan hak untuk memiliki istri lebih dari satu, meskipun harus menyertakan syarat 'adil' dalam dirinya"
"Sedangkan untuk perempuan, tidak ada hukum yg mengatur bahwa ia diperkenankan memiliki suami lebih dari satu. Kalaupun boleh memiliki 2 suami misalnya, harus dg predikat yg berbeda. Suami yg sah dan mantan suami", sambil terbatuk-batuk Mausul melanjutkan maksud ucapannya
"Yg pada intinya, janganlah para perempuan -yg katanya- modern itu menuntut untuk diberikan hak menyuarakan persepsinya terhadap sistem yg sudah jelas-jelas itu tidak dibentuk oleh manusia"
"Ada-ada saja perempuan ini.. Hah !!!", Mausul mengakhiri.
"Sul, engkau kan tahu sendiri kondisi masyrakat desa kita. Kaum laki-lakinya ?", ujar Waluyo
"Yah.. Sma spertinya kita lah. Kebanyakan pengangguran. Suka ribut-ribut kalau ada masalah. Dan ujung-ujungnya selalu tawuran", jawab Mausul sepontan
"Berbeda dengan kaum perempuannya kan ?"
"Sepakat.."
"Nah, itu.. Itu maksudku Sul", sepertinya Waluyo sedari tadi sudah menyusun jawaban yg dirasa tepat untuk membalas omongan Mausul
"Sesungguhnya merekalah pemimpin forum peribadatan itu"
"Kok bisa ?", tanya Mausul heran
"Karena dengan barisan jama'ah kaum perempuan yg tertib dan khusuk, barisan kaum laki-laki didepannya juga mau tak mau harus menyesuaikan diri. Mereka ndak bisa bertingkah seenaknya sendiri seperti di gardu, atau di warung-warung kopi", Waluyo menyeruput kopi yg ada didepannya kemudian melanjutkan.
"Bayangkan kalau kaum perempuan yg diletakkan di barisan depan. Pasti suasana masjid akan kacau balau karena kaum lelaki dibarisan belakang akan merasa bebas berbuat seenaknya"
"Ah, betapa Arif dan taktisnya Tuhan!", gumam Waluyo
"Kelihatannya saja perempuan banyak diletakkan dibelakang, tetapi justru disitulah sesungguhnya posisi pemimpin. Persis seperti setiap penggembala kambing, kerbau, atau bebek, pastilah berjalan dibelakang hewan-hewannya. Juga para gurur taman kanak-kanak: tak bisa berjalan seenaknya di depan anak-anak didiknya"
"Rupanya Tuhan seolah-olah menakdirkan bahwa kaum perempuan secara esensial memiliki potensi untuk memimpin kaum laki-laki. Jadi, sesungguhnya dalam rumah tangga tak apa-apa istri berposisi dibelakang, sebab sang suami memang harus dipimpin dari belakang..." , Waluyo mengakhiri
"Ah, itu kan menurut kamu Yo...", Mausul beranjak dari tempat duduknya
"Gak akan ada yg mau mendengar celotehan org pengangguran seperti kita...", sambil membawa gelas yg berisi kopi Mausul berjalan meninggalkan Waluyo sendirian
"Dasar Pengangguran !!!", teriak Waluyo juga sambil berjalan menuju rumah yg berlawanan arah dengan Mausul
------------
**
Rivai Moehamed
0 komentar: