DARI seratus sisi pisang, pasti satu dua ada yang dempet. Begitu pula halnya pada keluarga manusia. Yang hidup senang harta melimpah cukup banyak, langkahnya enteng seperti jalan di awan, saking melimpahnya sehingga suatu saat kepingin juga rasanya hidup sederhana dan kelihatan seperti gembel. Hanya saja, keinginan itu tidak mudah dicapai, karena memang kemiskinan tidak bisa dibikin-bikin. Lebih gampang berlagak kaya daripada berlagak kere. Akan kelihatan sedikit kikuk bagi mereka yang tidak terlatih.
Yang jadi bahan pembicaraan sekarang ini bukan orang yang berlagak kere, orang-orang yang sudah mulai bosan hidup dalam kecukupan tak terhingga, melainkan mereka yang betul-betul kepepet dan sumpek luar biasa, hingga bicaranya gagap dan gusinya biru, dan sekali waktu ada terlintas keinginan bunuh diri. Maksud ini belum kesampaian bukan karena sudah insyaf, melainkan kurang punya keberanian. Sebab, bunuh diri itu kata orang hanya bisa dilakukan oleh orang yang punya keberanian luar biasa. Orang-orang penakut memilih lebih baik meneruskan hidup walaupn dengan susah payah, dan walaupun sama sekali kurang terhormat.
Begitulah, orang-orang kepepet dan sumpek serta gamang ini pada suatu waktu berkumpul di gardu hansip, bukan karena bersepakat mereka berbareng ada di sana, melainkan karena masing-masing tak tahu lagi apa yang mesti dilakukan. Menurut bahasa koran, mereka ini tidak punya alternatif. Jika diamati rupa-rupa sebab yang membuat mereka dalam kondisi sumpek yang sangat itu. Ada yang disebabkan karena kena pehaka, semacam mesin yang mampu melindas harga diri seseorang hingga hancur lebur, dan yang bersangkutan bisa merasa lebih rendah dari kerbau. Ada yang disebabkan bosnya korup bukan alang kepalang, dan bukan saja karena ia tidak kebagian, melainkan sebagai gantinya ia dibikin kenyang dengan rupa-rupa pengarahaan dan petuah. Dan lainnya lagi merasa amat sumpek karena alasan materi, karena di bidang ini ia sebagai kepala bagian umum sudah berkecukupan serta akrab dengan relasi luar, melainkan karena isterinya kelewat cerewet dan cemburuan ditambah lagi dengan mertuanya yang berpembawaan seorang detektif.
Namanya saja orang sumpek dan kepepet, bisalah dimaafkan jika punya pikiran yang bukan-bukan. Misalnya yang menimpa tokoh pengangguran kita. Ia amat kepingin dan merasa sanggup jadi menteri tapi tidak tahu bagaimana caranya. Seumur-umur tak pernah membaca juklaknya. Misalnya yang menimpa tokoh karyawan kita. Ia nyaris ludes beli kupon Porkas tapi tak sekali pun kena. Sekarang kupon bekas ia longgok untuk kenangan anak cucu. Akan halnya tokoh yang keluarganya tidak beruntung, kepingin rasanya ia jadi penyair namun bakatnya kurang memadai. Sekali ada tersusun satu dua bait, tapi tak seorang pun paham maksudnya, dan kertas itu ia campakkan dalam sumur.
Berhubung rasa sumpek dan kepepet itu terus saja berlanjut dari tingkat ke tingkat yang lebih dalam, maka akhirnya terlintas dalam pikiran masalah langka seperti reinkarnasi, penjelmaan kembali sesudah mati dalam bentuk baru yang (siapa tahu) bisa lebih longgar dan lega. Kalau orang Irlandia kuno percaya bahwa para pahlawan yang mati bisa menjelma lagi ke dalam anak-anak orok yang baru lahir, kalau orang Yunani macam Pythagoras atau Empedocles percaya bahwa para almarhum bisa muncul kembali ke dalam hewan atau tumbuh-tumbuhan, mengapa kita tidak coba-coba memilih jadi apakah kita gerangan kelak? Maka orang-orang sumpek dan kepepet itu sibuk berdiskusi hingga terkantuk-kantuk.
Ada yang memilih mendingan nanti menjelma jadi hewan saja, sebab hewan tidak pernah sumpek dan kepepet. Hewan itu tidak berpolitik, karenanya tidak pernah tahu mana yang hak dan mana yang batil. Hewan itu makhluk mengambang, karena ia berpikir lewat usus dan perutnya. Pertengkaran muncul ketika menentukan jadi binatang apa gerangan baiknya. Tokoh pengangguran yang kena pehaka memilih jadi kuda, karena merasa mendingan diperkuda daripada tidak punya kerjaan sama sekali. Sedang tokoh yang rumah tangganya ruwet memilih jadi burung gereja saja, karena tidak ada binatang yang lebih bebas dari jenis ini, dibedil tidak, dilindungi tidak, ditangkap tidak, diperjualbelikan juga tidak, bahkan kucingpun tak sudi menggigitnya. Burung itu namanya gereja, tapi bukan berarti adanya cuma di gereja. Ia misalnya bisa saja ada di mesjid atau langgar. Dengan kata kiasan burung itu biasa disebut: ada di mana-mana atau tidak ada di mana-mana. Kedengarannya sedikit ganjil, tapi begitulah adanya.
Ketika tokoh karyawan yang nelangsa itu jatuhkan ia punya pilihan, terjadi sedikit kegemparan. Soalnya, dalam hubungan reinkarnasi ini, pegawai itu lebih suka jadi tumbuh-tumbuhan saja, boleh batang singkong boleh kembang sepatu. Ketika ditanya mengapa tidak pilih pohon duren atau mahoni saja, ia jawab jadi pohon apa saja boleh, asal saja keadaannya bisa lebih baik dari sekarang ini. Kendati hampir tak masuk akal di suatu saat kelak ia akan muncul kembali dalam bentuk pepohonan, namun lamunan-lamunan semacam itu sudah cukup menghibur. Diam-diam timbul rasa kagum luar biasa kepada orang Yunani purba itu, kok bisa-bisanya punya pandangan begitu jauh.
ESOK harinya keadaan berubah. Tak ada lagi yang coba-coba berniat menjadi menteri, karena dianggap percuma saja. Tak ada lagi yang disebut-sebut mau jadi penyair, karena tampaknya penyair profesional sendiri banyak yang pindah lapangan. Dan tak ada lagi yang bicara soal reinkarnasi, baik jadi kuda atau apa saja. Saolnya bukan apa, soalnya orang-orang sumpek dan kepepet itu sudah meningkat jadi pasrah. Karena namanya pasrah, maka tentu tidak ada lagi yang perlu diceritakan. Karena sudah sama pasrah, maka segala yang sumpek dan kepepet ditelannya belaka tanpa dikunyah.
***
Mahbub Djunaidi; Asal-usul; Kompas, 7 Juni 1987
0 komentar: