Semakin kompetitifnya zaman dalam mengusung tema perubahan secara
radikal yang terstruktur, menjadi satu fenomena tersendiri dewasa ini.
Pergulatan teknis yang mengurai praktis menjadi bumbu kehidupan manusia modern
abad 21. Tak ayal, peran serta perguruan tinggi sebagai gudang pencetak
intelektual muda dalam mengusung tema perubahan dan subjek perubahan kultur
zaman itu sendiri dibebankan.
Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia,
Nahdhatul Ulama (NU) sesungguhnya memiliki peran yang sangat signifikan dalam
proses perkembangan pendidikan terutama pendidikan Islam. Banyaknya
lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren, majlis ta’lim, diniyah atau
madrasah yang menjadi basis kultural NU dapat menjadi indikasi gerakan
pendidikan NU. Pesantren merupakan cikal bakal sistem pendidikan di Indonesia
dengan corak dan karakter yang khas dan dianggap telah menjadi ikon masyarakat
pribumi dalam memancangkan ideologi pendidikan di Indonesia.
Keterdekatan Nahdlatul ‘Ulama dengan pesantren bisa kita lihat dari
warna khas dan pola pendidikan yang kental dengan nilai nilai-nilai cultural
teologis dan praktik keagamaan (amaliyah ubudiyah). Meskipun dalam
perkembangannya pesantren sendiri banyak mengalami pasang surut akibat adanya
kebijakan-kebijakan yang bersifat diskriminatif dari pemerintah yang berkuasa.
Secara umum terdapat beberapa problematika yang dihadapi lembaga
pendidikan termasuk oleh lembaga pendidikan NU:
Pertama. Lemahnya
management penyelenggaraan pendidikan. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan
managerial para penyelenggara pendidikan yang masih dipengaruhi oleh sumber
daya manusia yang terbatas dan pengaruh budaya pedesaan yang cenderung mengacu
pada pola management “alon-alon asal kelakon”.
Kedua. Bidang
sumber daya manusia/ tenaga kependidikan. Masalah yang dihadapi adalah masih
adanya tenaga pendidik atau guru yang mengajar kurang sesuai dengan kompetensi
yang dimilikinya (miss-match and underqualified). Di samping itu masih banyak
pula guru-guru swasta yang mempunyai peran ganda sebagai pengajar di lembaga
pendidikan lain, sehingga kurang bisa berperan secara maksimal. Misalnya guru
biologi dapat mengajar kimia atau fisika, ataupun guru IPS dapat mengajar
Bahasa Indonesia, bahkan guru PAI mengajar Bahasa Inggris.
Ketiga. Bidang
kurikulum. Permasalahan klasik yang dihadapi pada umumnya adalah ketidakmapanan
kurikulum pendidikan. Pergantian kurikulum yang terlalu cepat dan kebelumsiapan
tenaga-tenaga kependidikan menjadi faktor penyebab ketidakjelasan arah dan
target kurikulum. Di sisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi menuntut relevansi kurikulum pendidikan dengan dunia
kerja. Out-put yang dihasilkan pendidikan dipertanyakan, apalagi
jika dihadapkan pada permasalahan IPTEK.
Keempat. Bidang sarana
dan prasarana. Keterbatasan finansial merupakan kendala utama bagi upaya
pengembangan pendidikan. Terutama adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
sarana dan prasarana pendidikan, baik fisik maupun non-fisik. Seperti
terbatasnya fasilitas belajar mengajar, buku-buku teks, alat peraga, ruang
praktikum, dsb.
Kelima. Masalah networking/pengembangan
jaringan. Secara kuantitas, jumlah warga NU sangat besar dan tersebar dalam
berbagai bidang kehidupan. Namun sangat disayangkan, potensi yang sangat luar
biasa ini belum bisa dikelola secara baik dalam sebuah networkingatau
jaringan organisatoris.
Lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan NU banyak dihadapkan
pada banyak persoalan, mulai dari padatnya kurikulum, lemahnya input madrasah,
tenaga pendidikan yang kurang berkualitas, kurangnya infrastruktur pendidikan,
pendanaan yang terbatas dan juga proses evaluasi terhadap siswa yang kurang
terkontrol. Di samping persoalan-persoalan lain yang bersifat eksternal seperti
kurangya perhatian, pengakuan dan pengawasan dari pemerintah terhadap madrasah
sehingga menjadi lembaga pendidikan yang selalu tertinggal dari sekolah umum.
**
Siti Mureni (Semester III, Fakultas Ekonomi Prodi Akutansi).
(Pernah diposting oleh tebuireng.org, pada tanggal 22 Desember 2015)
0 komentar: